Cinta Terlarang, antara Memori Kandang Kambing dan Rahasia Kamar Pengakuan
Menjelang Paskah begini, kami sangat sibuk dengan aktivitas pengakuan dosa. Sore ini adalah kali pertama di pusat paroki untuk pengakuan. Aku terbiasa memejamkan mata untuk tidak tahu dengan pasti siapa yang mengaku dosa, biar lebih obyektif dan tidak melibatkan pengenalan diriku atas umat.
Aku merasakan ada perempuan masuk ke kamar pengakuan, meski ini kisaran 100 an yang sudah mengakukan dosa, dengan terpejam, toh aku masih paham bahwa ini pasti perempuan. Parfumnya jelas seorang perempuan muda. Aku membuat tanda salib dan mempersilakan ia mengakukan dosanya.
"Rama, saya mengakukan dosa satau empat bulan lalu menjelang Natal, dosa saya adalah saya begitu marah dan sakit hati atas perilaku mantan suami saya yang lari dengan perempuan lain. saya tahu pernikahan Gereja tidak bisa diceraikan.......
Aku mulai hilang konsentrasi dan mataku menggoda untuk terbuka, seolah saya tahu siapa perempuan ini, dari suara dan model tangisannya....
Entah mengapa, aku malah melayang ke mana ke sudut novisiat*, ketika siang itu aku opera dan membersikan kandang kambing.
"Rama, akhirnya saya mohon nasihat, pengampunan, dan penitensi yang berguna bagi saya....
"Baik Ibu, Â tentu sangat berat bahwa Ibu menghadapi itu......"
Aku sudah tidak tahu lagi apa yang aku katakan, hanya mengalir begitu saja hanya seolah formalitas.
"Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus"
"Amin"
"Matur nuwun, Rama Paul...."
Aku tahu bahwa ia pasti bener masa lalu ku itu....
Lama aku tunggu tidak ada lagi yang masuk, aku lihat jam sudah pukul 20:00, biasanya sih sudah  sudah habis. Dan memang suasana luar sudah sepi. Aku buka stola dan rapikan di kursi dan keluar. Meski berpendingin ruangan keringat lumayan juga.
Perasaan tidak makin tidak karuan, hanya mampir di refter untuk minum air putih dan pamit pada rekan komunitas aku perlu istirahat cepat, tidak ikut makan malam dan ibadat penutup barengan. Sedikit sesal juga. Tapi rusuh hati ini susah untuk diaja kompromi.
Masuk kamar, aku mandi dan ibadat penutup sendiri di dalam kamar. Bacaan esok pagi aku lahap dengan cepat dan sekilah menyiapkan khotbah untuk Misa pagi esok. Lumayanlah dengan ketergesaan aku masih bisa yakin bahwa masih bisa berjalan dengan baik.
Aku memeriksa batin malam ini dan mengadakan evaluasi diri, eh lai-lagi kisah 17 tahun lalu itu malah melenggang dengan gamblang di hadapank. Aku masih culun, usai seminari menengah, dan menjalani masa Novisiat masih cukup awal. Membersihkan kandang, ada mobil tamu kelihatannya rama paroki luar kota, ada beberapa gadis.
"Itu frater lagi opera, sana kalau mau kenalan, tapi jangan digodain ya..."
Dari kandang aku dengar nasihat Rama Toni dari paroki di kota A menasihati para gadis, ada barang  tiga mahasiswi-nan taksiranku. Aku tahu pasti mereka akan ke sini, kandang paling menarik bagi anak kota, padahal paling menjengkelkan bagi kami.
"Siang Frater, lagi ngapain..."
Kamret tahhu bersihkan kandang, Â tanya lagi ngapain....
"Siang, eh ada tamu, maaf, kotor...saya Frater Andre..."
Paulus Andre Setyawa itu biasa dipanggil Andre, dan hanya si gadis kandang itu yang memanggil Paul. Dan kini ia mengaku kalau suaminya lari dengan gadis lain. apa yang ia katakan di kamar pengakuan tadi, kini malah makin jelas, bagaimana ia harus membesarkan dua jagoannya sendirian. Kemarahan yang ia nyatakan, namun aku juga tidak bisa berpikir jernih karena hatiku yang kacau seperti tadi.
Aku jadi kepikiran apakah akan membuka file data umat, di sana aku yakin kalau ada kontaknya. Tetapi apakah aku akan menghubungi, tetapi untuk apa, apakah aku mau memberikan simpati, dan kemudian menghiburnya? Aku merasa ikut bertangung jawab juga, karena dulu sempat dekat memang.
"Badut, ada paket...biasa si dia nih..." itu pasti si Gareng, biasa kami menyebut nama paraban untuk keakraban. Aku buka memang hadiah ultahku dari Mentari. Tahu aku senang melukis aku dibelikannya kuas satu set, cat air yang paling bagus yang pernah aku lihat.
Aku manfaatkan seminggu waktu istirahat siangku-siesta aku korbankan untuk melukis wajahnya, dan pada akhirnya aku pajang di belakang pintu kamarku. Era itu masih surat menjadi sarana komunikasi kami.
Entah kapan mulai jarang lagi saling bersurat, sepertinya mulai dia skripsi dan aku menjelang TOP dan selesai itu sama sekali tidak ada lagi komunikasi, oiya aku ingat kalau ia mengirim photonya wisuda. Aku TOP di luar negeri dan sama susah sekali akses untuk komunikasi, dan aku benar-benar tidak lagi ingat.
Ketika ia menyebut Paul, aku jadi terlempar lagi ke masa belasan tahun lalu, dan mengapa demikian pedih yang ia hadapi. Aku  tahu pasti ia mengenal aku ketika Misa juga memilih kamar pengakuanku jelas namaku ada di sana. Ternyata ia ada di kota yang sama dengan aku kini, apakah karena dulu mantan suaminya dari sini, atau kerja di sini dan dapat suami di sini, tanya itu semakin banyak, dan aku tidak akan mampu menjawab.
Aku tahu, ia tidak ada maksud apa-apa selain pengakuan dosa, namun ia berhasil memorakporandakan hatiku hanya dengan kata Paul saja. Aku berdoa mohon kesetiaan bagiku dan jalan terbaik bagi dia, dan aku nyenyak malam ini.
Terima kasih dan salam
Novis: anggota baru calon biarawan-biarawati
Novisiat: tempat pembinaan anggota baru calon biarawan-biarawati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H