Liatnya Jokowi
Beberapa hari menjelang pemilihan presiden, hiruk pikuk dukungan dan prediksi saling silang. Sah-sah saja sebagai alam demokrasi yang sehat. Miris memang ketika masih saja ada adu kampanye negatif dengan fitnah dan mengulik kelemahan pribadi calon, bukan kualitas dan kualifikasi calon.
Patut dilihat lagi, kisaran 4.5 tahun Presiden Jokowi memimpin negeri ini, satu perilaku yang tampil adalah sederhana, apa adanya, dan seolah sangt ringkih dengan tubuhnya yang kurus itu. Di balik itu ada hal  yang pantas kita cermati lebih dalam lagi, keliatan. Liat seperti lempung, di mana manusia diciptakan Allah dari sana.
Tanah liat yang dibentuk dengan tangan terampil akan menjadi porselin, gerabah, atau tembikar. Tanah liat itu dengan bantuan api akan menjadi kuat dan rigit, kaku, keras, namun malah menjadi mudah pecah dengan benturan dan hantaman. Riskan atas sekelilingnya.
Keliatan Jokowi lepas dari beberapa kondisi krusial, kritis, dan seolah dengan mudah sudah selesai. Jangan dikira usai pelantikan Oktober 2014 lalu selesai. Tidak, beberapa moment krits patut diingat kembali.
Perselisihan kanak-kanak di dewan, saling sandera antara KMP dan KIH memalukan, jangan sampai dilupakan. Di mana pemerintah tersandera soal kerja sama dengan dewan, hingga berbulan-bulan. Dewan paling memalukan dan memuakkan bahkan. Jangan pikir tidak ada peran Jokowi di sana untuk bisa merukunkan bocah memalukan itu.
Pemilihan Kapolri hingga partai pengusung utama pun seolah meradang. Pilihan yang seolah menghalangai hak prerogatif seorang presiden. Kedudukan yang memang banyak yang menginginkannya, banyak yang masih belum rela kalah, ada pula yang ngarep untuk mendapatkan durian runtuh. Keadaan krusial ketika pemilihan ada tarik ulur. Dan bisa dilalui dengan baik.
Ketua dewan berulah dan banyak menyedot perhatian, akan seperti apa akhirnya. Energi anak bangsa banyak tersedot ke sana. Melibatkan menteri, perusahaan paling prestisius, dan semua ingin mendapatkan kue itu. Melibatkan pula  orang kuat Riza Chalid dan Petral perusahaan sakti mandraguna.
Penyelesaian yang seolah hanya antiklimaks dengan kemunduran Setnov, khas politik, dan ternyata berbulan kemudian pun ketua DPR itu tidak berdaya usai menjadi ketua umum Golkar. Berganti dengan relatif aman, padahal banyak kekhawatiran. Dua nama licin bak belut mandi pelumas sudah lengser.
Kisah Ahok dengan pro dan kontranya sedikit banyak menyeret Jokowi. Demi berjilid-jilid yang mengundang presiden ke enam SBY tantrum dengan lebaran kudanya, orang banyak yang berpikir Jokowi pada akhirnya akan lengser. Demo 411, dan hingga 212 yang seolah adalah people power yang bukan soal Ahok namun Jokowi.
Relasional Jokowi-Ahok yang seolah ganda putra si minion kompak luar dalam itu, kejatuhan Ahok juga jatuhnya Jokowi. Penangkapan demi penangkapan aktor di balik kisah itu terjadi. akan ada makar dan ide pendudukan ala 98 tinggal menunggu waktu dan detik di mana Jokowi jatuh. Ternyata tidak juga terjadi dengan pilihan politik yang tidak mudah namun bisa.
Pengaruh massa dan perilaku elit yang bisa disikapi dengan bijak ternyata membawa dampak yang luar biasa berbeda dengan maksud beberapa pihak. Ada yang sudah melihat kursi presiden di depan mata, ternyata tidak jadi juga. Pilihan politik yang cerdik.
Usai itu tidak banyak lagi laga hidup dan mati. Akhir-akhir ini terutama dalam masa kampanye beberapa kali menampilkan betapa liatnya politisi satu ini. Cara bersikap dan mengambil  keputusan dan cara komunikasi terlihat elegan.
Beberapa kali menyerang dengan frontal dan banyak pihak mengatakan Jokowi kehilangan jati diri, ada yang menyatakan incumbent serasa penantang, dan seterusnya. Â Toh pada debat keempat, banyak dukungan dengan pilihan untuk menggunakan cara baru, mengalahkan dengan memangku ala Jawa.Â
Sikap serangan frontal dan itu gaya baru bagi Jokowi memang akhir-akhir ini mulai dipakai. Lawan, juga jangan takut jika diajak berantem. Ini bukan soal Jokowi suka kekerasan namun berbicara cara di dalam menghadapi lawan politik yang memang kadang perlu untuk dijawab denga tegas dan cukup keras. Mengapa? Karena memang selama ini seolah-olah rival itu menilai bahwa Jokowi lemah.
Membuat banyak istilah yang cukup populer dan diingat publik. Dari yang terakhir dilan, unicorn, dan soal korupsi dan penguasaan tanah. Hal-hal sederhana yang seolah-olah tidak sengaja. Jangan salah itu kesengajaan, ada perencanaan untuk membuat pengingat yang kuat namun sederhana.
Pilihan mengabaikan nasihat kapolri untuk datang ke Sibolga karena baru saja ada bom meledak, hal yang bukan hanya sekali dua kali, namun sering, termasuk ke Afganistan. Pilihan berani dan itu memperlihatkan keliatan dan kualitas kepemimpinan.
Apa yang ada di atas itu memperlihatkan kualitas pemimpin. Seorang pemimpin itu liat, tidak mudah patah, tidak mudah pula terpengaruh apalagi ketakutan, dan kemudian mengeluh. Pemilih disuguhi kualitas prima, pengendalian diri yang kuat, sehingga mampu menjadi pemimpin bagi yang lain. memimpin diri pun sudah bisa dan mampu.
Terima kasih dan salam
Inspirasi: Saleh Ritual Saleh SosialÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H