Usai litbang merilis hasil surveynya, banyak pendukung Jokowi meradang, merasa kalau Kompas sudah memihak sebelah, dan sejenisnya. Pada sisi lain, oposisi merasa girang karena mendapatkan sedikit oksigen ketika nafas hampir habis.
Apakah demikian besarnya perbedaan hasil survey dari  baik yang banyak diyakini obyektif, ataupun yang banyak disinisii karena hasilnya yang aneh dan lucu? Sejatinya relatif sama. Beberapa lembaga yang biasa merilis tetap dengan Jokowi-KHMA uggul, dan sisi lain survey internal koalisi 02 menyatakan mereka menang atau sangat tipis selisihnya, ada yang mengatakan single digit, kisaran sembilan persen.
Litbang Kompas merilis ada penurunan potensi pemilih dan suara untuk paslon 01, dan kenaikan pada posisi 02, memang ada yang salah jika demikian? Â Terlalu mudah sensi dan mudah menuding menjadi penyakit baru bangsa ini.
Layak menjadi bahan kinerja lebih baik sebagaimana dinyatakan Jokowi sebagai  presiden sekaligus capres periode mendatang. Beliau mengatakan bahwa itu adalah hasil yang baik, bahwa ada penurunan justru membuat tidak terlena dan bekerja keras lagi.
Jika mau berpikir jernih, justru membangunkan untuk tidak kepedean dan melihat bahwa kemenangan sudah pasti. Lengah dan malah menjadi bumerang. Ingat angin sepoi-sepoi malah menjatuhkan karena kantuk, angin kencang membuat waspada.
Ada hal baik secara lebih mendasar sebenarnya, di balik itu, koalisi 02 yang pernah memerintahkan boikot media arus utama, jadi girang dan malah kembali membaca media. Artinya, bahwa mereka sudah bertobat dan kembali pada jalan yang benar. Bagaimana pun media dan membaca itu penting, sehingga arus informasi ngawur, asal-asalan, dan berita penuh kebohongan bisa diminimalkan.
Ketika pendukung 01 malah blingsatan dan secara berlebihan menuding pada ranah yang tidak perlu itu menghabiskan energi, konsentrasi malah pecah, dan apa yang sudah seharusnya diatasi  malah menjadi bumerang. Banyak isu perlu diatasi untuk membela Jokowi daripada ribut kalau Kompas ngamret, Kompas tidak netral dan sebagainya.
Selisih suara pun masih relatif jauh, jangan berkonsentrasi pada satu sisi angka psikologis di bawah 50% itu semata. Ketika hanya satu sisi yang disoroti malah cenderung melihat itu ke mana-mana. Bias dan tidak fokus. Â Padahal banyak indikasi lain masih bisa menjadi bahan kebanggaan dan kepercaayaan diri yang cukup.
Selisih angka masih pada kisaran dua digit, coba bandingkan dengan waktu yang tersisa, padahal mereka memperoleh kenaikan hanya satu digit itu dalam waktu enam bulan. Apanya yang harus membuat sewot dan tuding sana-sini.
Mereka menabuh genderang tidak percaya media, namun begitu mendapatkan angin segar sedikit saja langsung memuja setinggi langit. Hal yang menjadi lucu dilakukan para pendukung Jokowi yang malah seolah blingsatan dan bisa-bisa melupakan fokus pada dukungannya bagi kemenangan Jokowi.
Genderang ketidakpercayaan media, ya biar saja, mana bisa meyakinkan orang yang sudah membutakan mata dan menulikan telinga terhadap segala hal seperti itu. Artinya ya biarkan saja mereka dengan perolehannya itu.
Apa yang perlu dilakukan adalah mempertahankan kurang lebih lima puluh persen itu agar tidak lepas dan  bisa meyakinkan agar tidak banyak yang ngambeg dan mutung kemudian memutuskan untuk golput. Sangat mungkin karena kampanye golput pun cukup masif.
Kemarin ada pertanyaan memang golput mengapa perlu dibahas panjang lebar? Ini  masalah, karena kecenderungan koalisi 02 lebih solid mendukung. Salah benar pokok e menjadi andalan. Padahal sisi lain, koalisi 01 malah cenderung mutungan, idealis buta. Melihat politik serupa matematik. Berbeda sikap sedikt nyolot dan mengancam, kecewa karena berbeda dukungan, memilih golput.
Potensi kisaran 38 itu akan tetap demikian, kecil banget kemungkinan untuk turun. Di sinilah peran massa mengambang, baik yang masih bingung, takut, atau malah tidak mau tahu soal politik itu menjadi pembeda yang cukup signifikan.
Masih ada cukup besar massa yang masih belum menyatakan dukungan, ragu, mengambang, dan merahasiakan. Â Sangat mungkin itu adalah ASN yang memilih di antara keduanya, keluarga militer dna polisi, atau orang yang abai akan politik. Nah daripada meriuhrendahkan soal Kompas dan afiliasinya, mengapa tidak mengajak mereka untuk yakin akan pilihan yang lebih baik.
Fokus jangan lepas karena godaan dan gangguan model demikian, bayangkan saja enam bulan hanya bisa meraih kurang dari lima persen, mosok dalam satu bulan kurang mau mendapatkan lebih dari 10 %. Tanpa ada aksi dan kejadian sangat luar biasa, hal ini sangat sulit tercapai.
Apa yang ditampilkan dalam kampanye terbuka baru beberapa hari saja sudah jauh dari ekspektasi untuk bisa mengejar yang 11% itu. Susah  melihat peluang untuk menaikan suara, namun jangan juga lupa untuk tetap mengupayakan beberapa hal;
Jangan sampai terpancing untuk ikut mengampanyekan golput, kecuali ikut golongan baju putih. Ada kecenderungan pendukung Jokowi mudah galau disasar untuk masuk ke golput, meskipun tidak akan memilih koalisi 02. Potensi yang sering tidak disadari.
Jangan pula memikirkan untuk percaya diri bahwa pasti Jokowi-KHMA sudah aman dan merasa satu suara tidak akan berpengaruh. Ini sama bahayanya karena satu suara juga penting bagi kemenangan dan jaminan keberlanjutan pembangunan lima tahun ke depan.
Tidak perlu mudah galau dan gamang hanya karena adanya perubahan peta politik yang belum tentu seperti itu. Sekali lagi politik  bukan matematik. Belum tentu yang terbaik akan menjadi calon dan belum  tentu yang jahat tidak bisa berkuasa. Kelemahan demokrasi ini harus disiasati dengan kecerdasan, kecerdikan, dan upaya keras untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk. Jika mengejar yang sempurna jelas tidak ada.
Nada pesimis karena hasil litbang Kompas itu  kini menemukan kembali udara segar dalam dua kejadian parah kampanye 02  di  mana ada bendera HTI yang ikut di sana. Aneh dan lucu ketika jawaban mereka mengatakan kalau tidak mengundang mereka. Jawaban macam apa model ini karena namanya kampanye jelas bukan soal mengundang atau tidak.
Ada afiliasi yang sama di antara mereka, padahal jelas sudah dibubarkan secara resmi oleh negara, mengapa mereka menyoba eksis di sana?
Padahal, jika mereka taat hukum dan cinta negeri ini tentunya akan mengusir mereka dari sana dan meneyrahkannya pada polisi. Jelas memperlihatkan mereka hanya mengejar kekuasaan dan menggunakan segala cara. Cara fasis lebih kentara dan itu tentu memalukan sebenarnya.
Lagi dan lagi BPN belepotan ketika ada adzan dan panggilan beribadah malah ditangggapi ada waktu untuk nyeruput kopi. Hal yang sejatinya wajar, normal, namun karena biasa memainkan isu agama, sentimen identitas, ini menjadi luar biasa. Mana rekomendasi ulama menemukan kualitasnya ketika mendapati orang model demikian.
Ini tentu bukan berbicara soal kualitas agama, namun sebagai calon pemimpin negara Pancasila tidak bisa menghargi sila pertama. Ibadah apapun agamanya itu penting. Pantas saja ketika ada tawaran baca Alqoran tidak menanggapi. Lha mengapa mengaitkan dengan ulama jika demikian?
Soal penghormatan dan penghayatan hidup beragama, menghormati agamanya sendiri saja gagal, apalagi agama lain. Miris menyaksikan calon pemimpin kog demikian. Apa yang ditampilkan itu soal kualitas, bukan semata soal beragamanya semata.
Jelas bukan ke mana pilihannya. Mau kata media seperti apa toh keberadaan Jokowi-KHMA jauh lebih menjanjikan dan menjadi harapan yang lebih jelas dan baik.  Keberlangsungan atas pembangunan dalam segala bidang  jelas sangat penting. Salah satu pekerjaan besar adalah pembangunan manusia, salah satunya ya jelas ibadah yang tidak semata ritual.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H