Menyematkan istilah keagamaan namun meksa, bagaimana orang tidak pernah belajar di pesantren dipaksa mendadak santri. Lebih gila lagi dipersamakan dengan nabi yang akan menyelamatkan negeri. Lha memang negerinya kenapa?
Alasan ketujuh, tidak ada visi, misi, dan gagasan baru yang lebih menjanjikan
Mengapa harus ganti ketika calon pengganti tidak memiliki hal yang baru, orisinal, dan realistis. Jauh lebih mengemukan semata antitesis dan mengulang-ulang yang dirasa pernah menjadi prestasi. Contoh jelas OK-Oce yang ternyata makin terkuak tidak ada dampak sama sekali di Jakarta. Sama sekali belum ada hal baru yang ada. Malah bisa-bisa mundur karena antiprogram lama.
Alasan kedelapan, lebih cenderung asal menang, tanpa persiapan
Hal  yang jelas sejak penentuan koalisi.  Bagaimana mereka asal memenuhi angka ambang batas. Tidak ada kesamaan ide dan gagasan, bahkan cenderung saling memanfaatkan. Tidak heran ada istilah jenderal kardus dan jenderal baper. Ini rekan sekoalisi lho.
Susah membayangkan bagaimana perang di antara mereka ketika berebut kursi dan kabinet. Apa bisa profesional dan memikirkan bangsa dan negara? Jelas susah bisa diyakini demikian.
Alasan kesembilan rekam jejaknya belum ada memimpin dengan sukses dan gilang gemilang di semua level. Ini fakta yang maaf sangat jelas terpampang dengan mata telanjang. Rekam jejak itu penting, juga gagasannya pun belum ada yang menjanjikan hal luar biasa.
Sembilan alasan jelas, faktual, dan sudah terjadi, dan beberapa potensial terjadi itu menjadi dasar memilih. Dan pilihan itu pasti Jokowi-KHMA layak untuk lima tahun ke depan.
Terima kasih dan salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI