Pilpres menjelang. Isu demi isu bergulir. Dua malam lalu sepulang Gereja, ada teman yang masuk K-2 guru bertanya harus memilih siapa dalam pilpres, menanggapi status percakapan saya resume atas artikel Jalan Sunyi Jokowi. Pertanyaan cukup aneh dan lucu berkaitan dengan latar belakangnya.
Ia nyatakan ngeri berkaitan dengan K-2 lainnya yang sangat intimidatif untuk memilih paslon tertentu yang ia jelas sebenarnya tidak mungkin juga. Ia mengatakan memilih diam ketika berbicara soal pilihan presiden, karena jerih dengan yang dominan. Saya jawab diam saja kalau tidak mampu menjawab.
Alasan pertama, paradok dan inkonsisten, mosok mau dipilih.
Mereka, 02 berjanji mengangkat semua K-2 menjadi ASN-PNS, mereka asal bicara tidak melihat realitas bagaimana keuangan negara. Pada satu sisi mereka juga berbicara akan mengurani pajak. Coba rasional saja dari mana keuangan negara yang bisa dilakukan, jika modelnya hanya populis namun tidak rasional.
Menyatakan pada petani akan menaikan harga dasar komoditas mereka, di depan pedagang mereka mengaku akan menaikan harga sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan. Lihat asal bicara pada konteks pendengarnya, meskipun bertolak belakang. Â Ini bukan seorang pemimpin, tapi kata teman saya yang latar belakang lain itu adalah, lambe sales.Â
Mengatakan kekayaan negeri dikuasai segelintir elit, 1% saja dari anak bangsa ini. Eh ketahuan mereka memiliki ratusan ribu hektare tanah yang ada dalam penguasaan mereka. Coba ke mana konsistensi antara ucapan dan faktanya. Menyerang namun dirinya juga pelaku.
Kubu 01 lebih menjanjikan, ingat bukan tidak ada kekurangan, namun jauh lebih konsisten dan berani bersikap tidak populis, namun demi bangsa dan negara yang bermartabat. Ada upaya membangun negeri berkarakter.
Alasan kedua, konsitensi pembangunan.
Melihat apa yang mereka perjualkan dalam kampanye, pernyataan dan ide gagasan mereka jauh lebih cenderung memperlhatkan antitesis pembangunan ala incumben. Susah percaya mereka akan melanjutkan apa yang sudah berjalan seperti sekarang ini.
Jakarta menjadi contoh konkret pemutarbalikan pembangunan dengan dasar asal bukan yang kemarin. Catatan prestasi dengan merusak capaian pihak lain. Ini  belum tentu demikian, namun bisa menjadi perhatian bahwa hal itu sangat mungkin bisa menjadi skala nasional. Eman apa yang sudah ada dan balik lagi mundur ke belakang. Ini bukan semata soal infrastruktur fisik, juga perbaikan banyak bidang yang sudah nampak hasilnya.
Alasan ketiga, kelompok yang lebih menampilkan serangan semata, tanpa mau tahu  kontekstualisasinya.