Gegap gempita OTT Romy belum reda, meskipun telah ada debat cawapres sekalipun. Melebar ke mana-mana karena menyangkut Kemenag yang sudah pengalaman dengan KPK. Miris sebenarnya. pilpres makin dekat, gorengan bisa dimanfaatkan kubu mana saja.
Pengalaman Romy ini mengingatkan publik akan Anas Urbaningrum dan juga Andi Malarangeng. Ada beberapa faktor yang identik. Dekat pada kekuasaan, memegang kendali  partai politik, dan juga muda. Sayangnya jatuh pada kasus yang sama.
Anas Urbaningrum
Sedikit berbeda dengan kedua politikus lain dalam bahasan ini.  Anas hanya salah pada posisi seolah matahari kembar bagi Demokrat. Bukan dalam Jawa kemalan, namun kumowani, terlalu berani bersaing di dalam matahari bernama Yudhoyono, baik susilo ataupun penerusnya Agus, atau Ibas.
Posisi "pemilik" dinasti yang tidak mau ada potensi penghalang yang jauh lebih menjanjikan. Potensi Anas jauh lebih moncer daripada maaf kedua Yudhoyono Jr tetap harus diakui, pun usai lebih ideal AU dari pada keduanya. Ini tentu disadari dengan baik oleh elit Demokrat yang takut sinar AU.
Tentu bukan membela AU ulasan ini, toh masalah korupsi sama saja busuknya. Mau apapun alasannya. Berbeda ketika kasusnya itu bukan maling beginian. Mengerikan penyakit akut yang dioperasi eksponen 98 eh pelakunya juga yang dulu mengutuk keras.
Gaya hidupnya tidak cukup membuktikan kesederhanaan. Sebagaimana dinyatakan Prof. Sahetapy, bau busuk anak ini karena mobilnya. Sepakat dengan pernyataan ini. Mau warisan, mau usaha, kalau sudah gaya hidup tinggi, akan mudah masuk perangkap korupsi.
Andi Malarangeng dan Romy Perlu Belajar Respek pada Senior
Dua politikus muda ini seolah termakan pada ucapannya sendiri  yang bagi saya termasuk kaliber kurang ajar. Meskipun namanya politik sangat mungkin berlaku apa saja. Toh ketika pada senior, sesepuh, dan juga rival tetap perlu sikap respek itu.
Andi Malarangeng ketika 2009, Jusuf Kalla memilih pecah kongsi dan menyalonkan diri jadi presiden, AM mengatakan, potensi dari Sulawesi Selatan menjadi RI-1 itu ada, namun bukan sekarang ini. Tafsiran saya ia hendak menyatakan RI-1 itu bukan Jusuf Kalla, namun saya, sama-sama dari Sulawesi Selatan.
Jatuh pada korupsi, menteri aktif lagi. Sikap respek pada senior yang dalam falsafah timur masih cukup kuat seolah mendapatkan faktualisasi. Politik itu kepentingan, namun sisi etis tetap saja kog perlu. Mengungulkan diri itu penting, namun tidak perlu menjatuhkan pihak lain. Dalam sepak bola saja kartu kuning kog, kalau mau menyundul bola dengan menjatuhkan lawan. He..he.....
Identik dengan pilihan Romi ketika kepedean capres Jokowi bersama koalisi menjatuhkan sampur pada KH. Ma'ruf Amin, dan meninggalkan Mahfud MD. Sebenarnya biasa saja, toh Mahfud MD dan juga Pak Jokowi selesai dan baik-baik saja. Sayangnya reaksi Romi yang menyatakan Mahfud MD membuat baju karena keinginan sendiri.
Sangat tidak mungkin kaliber Mahfud itu kepedean, atau malah "memaksakan" diri dengan membuat baju biar dipilih. Pelecehan dari anak muda, meskipun becanda toh ini berlebihan, padahal bisa dijawab tanya saja Pak Mahfud jangan saya, gak etis. Selesai. Ranah etis dilanggar.
Romi yang masih cukup hijau ternyata jatuh pada penyakit akut politikus tua. Muda usia perilaku sama saja ternyata. Masih mudah tergiur uang dan jatuh pada lobang yang sama para sesepuh negeri ini.
Sekjend P3 menyatakan, beaya tinggi partai sangat mungkin menjadi alasan ketum jatuh pada kasus ini. Ini sebenarnya menjadi pernyataan sangat serius bagi hidup berbangsa ini. Bagaimana isu mahar politik dalam banyak hal terjadi, terutama dalam pilkada. Kembali mendapatkan bukti.Â
Mengapa politik beaya tinggi? Ini yang menjadi persoalan, bagaimana mau menyelesaikan persoalan korupsi, kalau kinerja parpol dengan hanya mengandalkan uang. Uang yang tidak jelas lagi asal dan peruntukannya seperti ini.
Mosok partai harus ditanggung oleh ketumnya mengenai keuangan. Keuangan yang pasti akan tinggi ya selalu korupsi sebagai jalan keluarnya kalau tidak dibenahi dengan baik. Era modern tapi otak masih saja zaman batu susah. Mau makan ya  kerja, bukan maling. Ini yang harus dijadikan pedoman.
Momentum tepat untuk bebenah dalam berpartai dan berpolitik. Mesin partai dijalankan oleh politisi yang mau mengabdi dan kaderisasi yang berjenjang dan berjalan baik. Mungkin terlalu utopis, namun bisa sangat mungkin bisa.
Terlalu banyak petualang politik dalam dunia parpol bangsa ini. Saatnya bebenah dan membangun partai secara modern bukan lagi ala zaman batu. Ideologi mendapatkan porsi penting sehingga mengurangi potensi kutu loncat yang menggunakan segala cara demi kekuasaan semata.
Politik sebagai sarana bukan tujuan, perlu yang namanya etika, dan itu perlu dijunjung untuk hidup bersama lebih baik. Penghormatan  pada pihak lain juga adalah menghargai diri sendiri. Hal ini masih belum cukup baik di dalam perpolitikan bangsa ini.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H