Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pengakuan dan Dukungan FBR Itu Bukti, Jangan Ada Lagi Salah Pilih!

11 Maret 2019   09:00 Diperbarui: 11 Maret 2019   09:40 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Cukup mengagetkan menjelang dua bulan coblosan, salah satu ormas yang cukup berpengaruh di Jakarta, FBR menyatakan pindah dukungan. Hal yang biasa pindah dukungan itu. Toh bukan, hanya ormas, bahkan parpol pun banyak yang pindah.

Setelah banyak pribadi dan politikus elit yang beralih dukungan, dengan keberadaan FBR yang bergabung, memberikan dampak cukup mengagetkan bagi yang ditinggalkan. Bagaimana tidak, ketika sudah terbiasa bersama-sama dalam banyak tema dan kerja, tiba-tiba beralih posisi.

Belum lagi, ketika alasan berpindah itu cukup membuat kaget, ada sesal, ada kecewa, dan suasana yang tentunya membuat keadaan bisa menjadi alasan untuk bersikap di dalam memilih kepercayaan.  Benar bahwa hal yang normal, biasa, alamiah, dan sangat wajar beralih dukungan dalam alam demokrasi.

Alasan yang patut dicermati mengapa FBR adalah, kekecewaan atas perilaku Gubernur dan Wakil Gubernur yang kebetulan kini menjadi cawapres, salah satunya.  Padahal mereka berdua telah diberi gelar "ABANG."  "ABANG" mereka belum melakukan apa yang mereka harapakan dari komunitas Betawi.

Harapan, bahwa mereka malah bisa berharap kepada Jokowi, yang pernah menyanangkan penggunaan  pakaian adat Betawi sebagai salah satu seragam bagi jajaran pemrov DKI Jakarta.  (apa lupa pas 2014 lalu ya, toh biarlah, lupa kan manusiawi)

Jakarta itu salah satu lumbung yang bisa diharapkan oleh koalisi 02, namun dengan lepasnya salah satu elemen penting mereka dalam diri FBR, artinya cukup suram juga peluang mereka memperoleh suara. Apalagi alasannya sangat mendasar. Ini soal kekecewaan dan kinerja yang dinilai buruk.

Orang kecewa itu tidak cukup mudah diyakinkan kembali. Jangan mengatakan dengan bahasa muluk-muluk, ketika menghadapi kenyataan ini. Suara kelompok ini cukup signifikan memberikan pengaruh. Orang dan kelompok lain akan dengan mudah juga terpengaruh untuk bersikap dengan tegas.

Kinerja, jelas mulai dilihat betapa jauh lebih baik kinerja Jokowi, dan benar bahwa mereka mengatakan belum melihat hasil yang cukup menjanjikan capres 02. Namun cawapresnya yang telah dilihat, belum memberikan bukti cukup. Diperjelas dengan sikap mereka yang kecewa telah memberikan gelar istimewa.

Dampak Jakarta dan pemerintahan DKI cukup sognifikan bagi koalisi 02. Memang tidak serta merta akan demikian, namun karena penyusunnya sama, hasilnya kog tidak akan jauh berbeda.  Beberapa hal krusial ditampaknya Jakarta.

Pertama jelas soal pemerintahan yang dijadikan ajang politis, benar bahwa itu jabatan politik, namun bukan berarti apa-apa harus politis juga. Sekitar delapan bulan namun masih saja tarik ulur, berarti ada masalah serius yang dianggap main-main di sana. Fokus semata kekuasaan dan kursi saja.

Partai politik pengusung tidak serius mengelola Jakarta. Mereka hanya fokus pada kursi atau jabatan, soal tanggung jawab nol besar.  Model demikian yang mau dikembangkan menjadi pemimpin nasional? Jelas tidak bukan?

Kegagalan dalam banyak hal, padahal sederhana tinggal meneruskan, namun karena kesombongan politis, malah jadi kacau. Jelas banjir, di depan mata, malah menuding ke sana ke mari. Jelas ini kualitas pemimpin bukan soal ide atau gagasan lagi.

Beberapa keluhan mengenai birokrasi yang kacau, petugas lapangan bagian kebersihan yang hilang dari peredaran, ini jelas mempertontonkan hanya soal gengsi kinerja apik yang lalu dibuang. Apa iya Indonesia yang demikian maju mau dibawa mundur lagi?

Program andalan dan hanya satu-satunya OK-OCE, mau dibawa ke ranah nasional. Toh di daerah pun belum ada dampak signifikannya. Hanya semata kata dan ide, belum ada implementasi yang cukup berdampak.

Tim dan staf yang membengkak  terus. Kecenderungan bagi-bagi kue jauh lebih kuat di sini. Demokrasi yang ditata dengan baik dihancur leburkan. Pun bangsa yang mulai tertata mosok mau dirusak lagi, rela?

Pengelolaan keuangan yang kacau, daerah saja kacau, mau dibawa ke tingkat nasional? Jelas tidak perlu. Biar saja Jakarta sebagai tugu peringatan kesalahan itu mahal harganya. Jangan diulang untuk skala lebih besar lagi.

Paling jelas, dalam debat, capres 02 mengatakan mendukung program pemerintah, lha buat apa ganti kalau program sama, pemerintah masih  sah secara UU untuk kembali memimpin. Mosok mau diganti dengan yang belum teruji.

Pernyataan dukungan ini jelas bukan bahwa tidak perlu diganti,  lha mana ada mengaku oposisi namun tidak memiliki visi dan  misi untuk mengganti. Apa yang dimiliki hanya cenderung antitesus, mengubah nama dengan isi sama, malah mendukung lagi.

Mau mengganti itu ya harus memiliki program yang lebih baik, lebih menjanjikan, dan lebih meyakinkan di dalam program ataupun gagasan. Lha masa kampanye mau habis, satupun hal baru sama sekali belum ada.

Pengalaman FBR itu menjadi pengalaman berharga, cukup warga Jakarta yang pernah dan telah salah pilih. Jangan sampai negeri ini dikorbankan demi hasrat berkuasa semata pribadi-pribadi obsesif namun abai tanggung jawab model demikian.

Pengakuan serius yang perlu dicamkan dengan baik oleh pemilih di seluruh negeri. Kerusakan dan kemunduran Jakarta telah memberikan bukti, bahwa merusak itu lebih cepat daripada membangun. Cukup Jakarta saja, jangan rusak negeri ini untuk coba-coba.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun