Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penangkapan AA, Penolakan Hasil Survey ala FH, dan Kekuasaan Memang Enak

7 Maret 2019   11:01 Diperbarui: 7 Maret 2019   11:17 1416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia perpolitikan terkena tsunami, penangkapan elit parpol karena skandal narkoba, dengan segala upaya, toh tetap merupakan badai. Mau dipidana sebagai pemakai dengan rehap, apalagi sebagai pengedar atau terlibat dalam perdagangan, tetap sama saja dampak buruk itu sangat besar.

Apalagi jika benar ada lawan jenis yang bukan pasangan di sana, tambah komplit "noda" partai santun yang satu ini. Ma lima menjadi gaya hidup secara komplit, hayo uang dari mana? He..he... Miris lagi, jika itu anak masih ci bawah umur lagi. Toh bisa ngeles ke mana-mana. Yang jelas citra itu ternoda, cukup fatal dan telak.

Kemarin ketika saatnya membaca, menemukan hal menarik dari bukunya Gus Mus dengan judul Pesan Islam Sehari-hari, berasal dari syair Arab yang berbunyi

Bila suatu ketika kau memikul keranda ke kubur 

Ingatlah bahwa sesudah itu kau akan dipikul pula

Dan bila kau diserahi suaru kekuasaan atas kaum

Ketahuilah satu saat kau akan diberhentikan juga.

Apa yang ada adalah bahwa kekuasaan itu akan terbatas, baik karena periodisasi demokrasi, kodrat, misalnya tiran yang akan mati, ataupun kudeta. Semua tetap saja berakhir. 

Melihat sepak terjang para politikus saat ini, cenderung merasa mereka tidak tahan untuk mengambil kekuasaan, atau malah ingin kekuasaan itu abadi, atau hanya fokus pada kekuasaan sehingga melupakan etika, apalagi spiritualitas dan hal-hal rohani.

Apa yang dilakukan AA adalah sebentuk pamer kekuasaan, terutama selama ini melalui media sosial, bagaimana pendapatnya yang kadang abai kepantasan, merasa paling hebat dan benar. 

Di dalam kasus ini pun beberapa kekuasaan dalam arti terbatas. Kekuasaan atas perilaku melanggar hukum, bisa mengatur penegak hukum dengan kekuatan, jaringan, atau kadang malah tidak jarang menekan dengan opini yang diciptakan.

Kekuasaan pada para pemasok, di mana mereka tentu saling menguatkan dan membutuhkan. Satu sisi para pemasok mendapatkan kesempatan memasuki jaringan elit yang jauh lebih menguntungkan. Ini soal kekuasaan dan kesempatan. Si AA dan para pemakai lain mendapatkan kesempatan untuk bisa memperoleh "barang" dengan jaminan lancar dan akan selalu memperoleh kala butuh.

Mereka lupa, bahwa kekuasaan tetap saja terbatas dan ada waktunya berakhir. Nah kini yang coba ditawarkan oleh kekuasaan itu adalah dengan cara lain, menekan dengan seringan mungkin konsekuensi atas pelanggaran hukum. Paling mungkin adalah rehap. Maka narasi yang dikembangkan adalah bahwa mereka dijebak, merasa bahwa itu bukan pelanggaran hukum, dan seterusnya.

Kisah kedua yang dilakoni pimpinan dewan yang berkomentar tentang hasil survey LSI, beberapa hal yang patut dilihat,

Pertama menolak hasil survey karena berasal dari lembaga yang dituding adalah timses pihak rival. Menarik karena setiap survey yang menghasilkan rekomendasi pihaknya kalah akan ditolak dan dituding macam-macam. 

Dan sebaliknya, kalau hasil survey memberikan hasil yang memenangkan pihaknya diakui. Lagi-lagi adalah kekuasaan otak dan opini di dalam membangun persepsi, dengan menafikan banyak faktor yang ada.

Kedua, ketika survey itu ada point berkaitan dengan dasar negara antara Pancasila atau ala Timur Tengah. Lagi-lagi hal ini ditolak karena berpotensi menimbulkan pertentangan dan konflik sara. 

Setuju, dan memang bisa demikian. Menjadi pertanyaan adalah, selama ini ke mana saja mereka ini? Baru bangun, atau amnesia?  Perilaku mereka selama ini seperti apa, semua paham kog. Jangan seolah-olah menjadi paling nasionalis dan Pancasilais, ketika kedok dan borok mereka dibongkar oleh survey. Jadi penolakan itu bukan karena jiwanya, namun karena ketahuan belangnya.

Ketiga, bisa berbicara soal persatuan dan kesatuan bangsa, namun perilakunya selama ini seperti apa  coba, toh banyak yang paham kog. Memang kadang orang lupa ketika kekuasaan itu menjadi tujuan utama. Lupa proses, lupa etika, lupa keadaan, dan juga lupa kondisi real yang dihadapi. Kemarin berbicara apa, sekarang apa.

Dua kisah itu memberikan kepada kita beberapa pelajaran

Kekuasaan itu bisa berarti ingin menguasai pihak lain, sejak kecil kata Gus Mus, bayi lahir itu menangis, hendak mengatakan dunia aku kuasai, sedikit besar memaksakan kehendak dengan merengek dan ngambeg jika kehendaknya diabaikan, dan seturut kemampuan dan perkembangan kepribadian ada penyesuaian-penyesuaian. 

Perilaku dua elit politik itu ternyata malah sebaliknya, abai akan perkembangan. Kondisi yang berbeda namun disikapi sama terus.

Ketika kekuasaan menjadi satu-satunya tujuan, menjadi fokus atas perilaku  politikus, mereka bisa melakukan dengan ugal-ugalan, abai akan kebenaran dan taat azas, yang penting mendapatkan kekuasaan.

Padahal jika mau sedikit saja jernih dan menggunakan akal sehat, kekuasaan itu terbatas, jadi tahu dengan baik bahwa itu akan berganti, tanpa perlu menuding dan menjelek-jelekan pihak lain. 

Demokrasi namun perilaku seolah tiran, melakukan dan memainkan politik korban, tidak taat azas dan tanggung jawab. Menuding dan menunjuk seolah paling benar dan bersih.

Karena kekuasaan pula orang bisa mabuk dan lupa Yang Di Atas yang akan mempertontonkan apa yang disembunyikan rapat-rapat sekalipun. Kekuasaan itu terbatas juga oleh Yang Kuasa.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun