Miris membaca pemberitaan mengenai anggota Pepes, mak-mak bertiga yang menjadi tersangka dalam kampanye hitam. Apalagi ketika salah satu ibu dari mak itu mengungkapkan sesalnya dan permohonan maaf Pak Pak Jokowi. Memohon dimaafkan, anaknya itu  tidak tahu apa-apa, hanya terbawa suasana politik, katanya, anaknya masih kecil dan suaminya menderita.
Kemarin, salah satu kehebohan politik dan kampanye adalah kisah RS yang oplas mengaku dipukuli orang. Dan ketika terkuak bahwa itu akal-akalan, semua balik badan dan tidak ada yang mau mengenal lagi. Toh demikian, di dalam persidangan masih merasa bagian keluarga besar 02. Baguslah jika masih memiliki konsistensi, meskipun keliru ya bolehlah.
Beberapa sikap yang patut menjadi pembelajaran dari kedua kisah tersebut adalah;
Perilaku munafik. Bagaimana kalau untung adalah teman, kalau tidak dapat apa-apa, apalagi rugi adalah bukan siapa-siapa. Hal mana  itu nampak dengan gamblang yang mereka lakukan. Ada yang menyebut RS adalah mak lampir ketika ada urusan di lokasi yang sama. Bagaiamana bisa sikap demikian, menghina rekan sendiri, apa ada sih mantan rekan sejatinya?
Ada pula yang "melarang" untuk menggunakan jari untuk memperlihatkan dukungan pilihan politiknya. Coba bayangkan kalau teman saja diperlukan demikian. Sikap main dua kaki dan meninggalkan kawan perlu menjadi perhatian khusus bagi pemilih. Apalagi status ketua MPR.
Perilaku tidak memikirkan akibat. Contoh konkret bagaimana melakukan tanpa berpikir panjang. Konkret mak mak kampanye yang sekaran ibunya menyesal. Coba apa tidak memikirkan perasaan Pak Jokowi dan keluarganya. Apa hanya mereka saja yang punya keluarga dan perasaan? Â Kalau Jokowi harus memaafkan, apakah dampaknya besar atau tidak, bahkan itu bagi bangsa dan negara pun tidak menjadi pertimbangan. Tidak kemudian "menjual" derita dan malah seolah-olah malah Pak Jokowi yang bersalah.
Hal yang sama juga dilakukan kelompok yang mendengungkan kisah RS, di mana mereka abai akan klarifikasi, namun sudah heboh bahkan dengan konferensi press segala. Padahal dampaknya mengerikan jika polisi tidak cermat dan cepat bertindak.
Abai kawan, apalagi lawan. Sikap identik dipertontonkan BPN. Mereka menolak kenal dan dikaitkan dengan yang berkasus, baik mak-mak pepes ataupun RS. Susah juga melihat mereka bisa menghargai dan respek pada rival.
Lihat bagaimana lagi-lagi ketua MPR mempertanyakan kalau Jokowi juga tidak bisa menghitung panjang jalan. Padahal kan sederhana, bagaimana perencanaan dan pertanggungjawaban proyek yang berjalan kan ada. Dari sana ada panjang yang direncanakan dan kemudian terealisasi.
Sama bodohnya dengan yang menghitung dengan mengeliling bumi itu. Mengapa jadi bloon? Hanya karena kebencian semata. Akal dan nalar sehat dan sederhana saja tidak mampu diketengahkan.
Sikap bertanggung jawab. Perilaku dan pernyataan yang sering tidak karuan, bahkan melanggar hukum sekalipun, menebar kebohongan, fitnah, dan kebencian, ketika dijadikan kasus dan adanya proses hukum nada dasar yang sama kriminalisasi, pemerintah otoriter, dan sejenisnya. Perilaku ugal-ugalan dan ngawur ini seolah telah menjadi SOP dan kebijakan perilaku mereka.
Apakah hal demikian itu perilaku orang beragama dan berlandaskan Pancasila di dalam hidup berbangsa? Susah melihat yang demikian kog mengaku beragama dan berlandaskan Pancasila. Spritualitas yang baik akan terpancar dalam  perilaku hidup sehari-hari, buah agama.
Sikap tanggung jawab dan menerima konsekuensi atas perilaku itu jelas mempertontonkan kualitas kepemimpinan. Â Yang nampaknya jauh dari fakta yang dipertontonkan. Bagaimana percaya model demikian menjadi pemimpin yang baik, coba?
Menghargai kawan dan lawan jelas ciri sportivitas, ciri berdemokrasi yang  dewasa dan bermartabat.  Lihat bagaimana jika pemimpin demikian itu selama ini berperilaku dalam kampanye dan selama menjadi "oposisi" sepanjang periode ini. Mereka  biasa meninggalkan kawan, bagaimana menghargai lawan, merendahkan jelas merupakan kebiasaan dan makanan sehari-hari.
Apa yang ditampilkan selama ini kog, nampaknya merupakan gambaran utuh atas perilaku hidup beragama dan spiritualitas dalam hidup harian mereka. Mana gambaran hidup beragama itu tidak semata pakaian, kata suci, dan ritual keagamaan yang dipublikasikan.
Ini memang perilaku secara umum para pendukung utama koalisi, namun apakah pemimpin dari koalisi ini juga memiliki sikap yang semestinya? Â Jika ia lurus, dan berjalan berbeda dengan yang dilakukan jaringannya, bagaimana tidak ada teguran kog. Apa yang terjadi demikian lama toh tidak ada perubahan. Ada kesinambungan sikap antara capres sebagai pimpinan dengan jajaran selanjutnya.
Cukup menarik apa yang menjadi isu di mana capres mereka ternyata tidak bisa wudhu, apakah masih demikian hingga hari ini, entahlah? Ketika tidak bisa melakukan yang mendasar, bagaimana langkah ritual beragama berikutnya. Susah memahaminya bisa sholat dan mengaji Al Qoran jika demikian. Mengapa? Karena yang mendasar saja tidak mampu, mana bisa yang selanjutnya dapat melakukannya dengan selayaknya?
Pantas banyak pertanyaan Jumat-an di mana karena seolah tidak bisa melakukan ibadah wajib itu. Ada pula setitik bukti demikian, ketika mau ibadah Jumat pun harus memakai pamflet, banner, dan spanduk undangan untuk ikut sholat Jumat.
Nah dari sana, apa yang menjadi kewajiban saja tidak mau berusaha sungguh-sungguh, jadi tidak heran ketika menjadi pejabat publik akan susah melihat ia bisa dipercaya. Â Kewajiban beragama itu mendasar, jiwa pemimpin. Jika dasarnya saja keropos, apa yang terjadi?
Terima kasih dan salam
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H