Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Alasan Beralih Memilih Jokowi, Faktual Pengakuan Teman SMA

27 Februari 2019   09:00 Diperbarui: 27 Februari 2019   09:12 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cukup kaget, sore kemarin ada rekan datang dan berbicara kalau dia dulu pemilih capres kini ada di posisi 02. Lucu juga dengar dia memilih itu, mengapa demikian? Sederhana,  simpel saja ia jawab, bahwa ia memilih itu karena latar belakangnya militer. Hanya itu, tidak ada yang lain.

Teman dari teman saya datang memberi kaos paslon nomor dua, "Mau Pak, kaos 02? " 

"Maulah."

"Kan kemarin,  sama dengan ini ya? Tanya temannya yang membawa kaos, salah satu timses koalisi 02.

"Tidak, kali ini milih Pak Jokowi, wong kerja di proyek karena pemerintahan Jokowi kog."

Jawaban realistis, wajar, dan sangat normatif tentunya. Jadi ingat salah satu Kompasianer, di dalam komentar pernah menuliskan, bahwa sebelum 2014, Kners ini masih bisa memberikan kesempatan pada capres ini , karena toh bisa saja kemungkinan memberikan perbaikan. Ketika bersama dengan partai yang berbeda, ada perubahan sikap sehingga menjadi ugal-ugalan seperti 2014-1029 seperti disaksikan bersama. Secara garis besar demikian.

Periode pra2014, masih cukup normal dan belum begitu ugal-ugalan dan ngawur seperti  periode 2014-2019. Masih banyak orang memberikan sedikit simpati, memberikan kepercayaan, dengan segala kekurangannya, toh masih ada harapan dengan pengalaman panjangnya. 

Cukup wajar dan layak juga jika berpikir demikian. Reputasi sebagai oposisi  yang baik dan masih dalam batas-batas yang bisa diterima nalar dalam berdemokrasi.

Perubahan sikap dan karakter berdemokrasi

Entah karena memang tidak siap kalah, atau karena tidak ada lagi kandidt yang cukup kompeten dan menjual sehingga akhirnya mencalonkan ini lagi.  Kedua hal ini ada ada benarnya juga. Perilaku dan bahkan pernah juga mengaku bahwa tidak ada kamus kalah dalam pola politik mereka. Jadi ketika kalah, meradang dan tidak bisa menerima itu sebagai kenyataan.

Tidak ada kandidat lain yang layak menantang Jokowi. Susah, ada sembilan calon dari PKS pun mental. Ada AHY pun tersingkir. Survey dan analisis demi analis telah menyatakan bahwa hal ini memberikan jawaban bahwa memang tidak ada kandidat lain. Partai-partai yang ada di sana tidak memiliki tokoh yang mampu bersaing dengan Jokowi dalam level yang sama, kecuali calon yang sama.

Sikap dari tidak siap kalah itu, ternyata mengristal karena berbagai-bagai kasus dan jelas kepentingan demi 2019. Ini menjadi masalah yang membuat banyak orang menjadi enggan kembali memilih atau  memberikan kepercayaan lagi.

Kebersamaan dengan gerakan radikal dan intoleran, membuat makin banyak kehilangan potensi pemilih dan bahkan pemilih menjadi beralih. Pembelaan kepada HTI jelas membuat orang menjadi takut bagaimana pemerintahan ke depan. Negara Pancasila susah bisa diharapkan demikian. Ide-ide yang mengikuti dan  perilakunya di dalam politik identitas.

Pilkada DKI menjadi puncak bagaimana sektarian dan sejatinya tidak sektarian namun keinginan untuk berkuasa semata. Agama dan identitas dijadikan kendaraan agar bisa menang dan berkuasa, termasuk menyingkirkan pemimpin potensial dengan alasan lagi-lagi agama.

Pembelaan demi pembelaan bagi para pelaku pelanggar hukum. Bisa kita saksikan bagaimana mereka menggebu-gebu membela Ahmad Dhani, dulu Ratna Sarumpaet, dan juga Buni Yani sempat pada awal-awalnya. Bagaimana pertanggungjawaban mereka atas penegakan hukum jika perilakunya demikian.

Mosok mau merevisi UU ITE demi kawannya yang terjerat pasal UU ITE, bagaimana bernegara dipengaruhi oleh kepentingan relasional personal?  Padahal di dalam konteks UU ITE ini, mereka juga terlibat di dalam pembahasan hingga legalisasi. Apa iya dengan mudah direvisi berkaitan dengan kepentingan semata rekannya. Apa hanya Dhani  yang dijerat UU ITE? Sama sekali tidak, ke mana mereka selama ini?

Oposisi ugal-ugalan,  bagaimana mereka melakukan kritikan yang sama sekali tidak mendasar, dan lebih cenderung waton sulaya, di mana mereka melakukan apapun asal pemerintah di mata pemilih adalah buruk. Beberapa indikasi itu;

Infrastruktur tidak dimakan rakyat, padahal jelas kepentingan dan kemendesakan mengapa infrastruktur dibangun dan dijadikan prioritas. Ingat orang itu tidak hanya butuh makan, namun distibusi dan kebanggaan juga penting. Namun mereka tidak mau tahu hal itu. Apa yang menjadi fokus mereka hanya soal kepentingan jangka pendek.

Hutang luar negeri yang digembar-gemborkan terus. Fakta dan data jauh dari itu semua. Mereka tidak mautahu karena memang itu keuntungan pemerintah. Keuntungan pihak rival yang tidak mau mereka akui karena memang mereka tidak bisa respek pada rival. Sikap yang menunjukkan ciri kekanak-kanakan.

Setiap pernyataan dan gagasan serta perilaku pemerintah selalu dinegasikan. Padahal oposisi baiknya tidak hanya demikian.  Sebaiknya adalah mendukung sepanjang itu demi bangsa dan negara. 

Jika sebaliknya mereka berteriak lantang. Hal ini tidak terjadi, berteriak terus tanpa jalan keluar, dan cenderung asal-asalan. Malah merugikan bagi hidup berbangsa jika demikian.

Pilihan banyak rekan ini memang logis, benar, dan bijaksana. Melihat reputasi calon pemimpin yang lemah demikian, di hadapan pemimpin yang sudah memberikan bukti bukan sekadar janji. Jadi pilihan untuk Jokowi lagi sudah tepat.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun