Cukup kaget, sore kemarin ada rekan datang dan berbicara kalau dia dulu pemilih capres kini ada di posisi 02. Lucu juga dengar dia memilih itu, mengapa demikian? Sederhana, Â simpel saja ia jawab, bahwa ia memilih itu karena latar belakangnya militer. Hanya itu, tidak ada yang lain.
Teman dari teman saya datang memberi kaos paslon nomor dua, "Mau Pak, kaos 02? "Â
"Maulah."
"Kan kemarin,  sama dengan ini ya? Tanya temannya yang membawa kaos, salah satu timses koalisi 02.
"Tidak, kali ini milih Pak Jokowi, wong kerja di proyek karena pemerintahan Jokowi kog."
Jawaban realistis, wajar, dan sangat normatif tentunya. Jadi ingat salah satu Kompasianer, di dalam komentar pernah menuliskan, bahwa sebelum 2014, Kners ini masih bisa memberikan kesempatan pada capres ini , karena toh bisa saja kemungkinan memberikan perbaikan. Ketika bersama dengan partai yang berbeda, ada perubahan sikap sehingga menjadi ugal-ugalan seperti 2014-1029 seperti disaksikan bersama. Secara garis besar demikian.
Periode pra2014, masih cukup normal dan belum begitu ugal-ugalan dan ngawur seperti  periode 2014-2019. Masih banyak orang memberikan sedikit simpati, memberikan kepercayaan, dengan segala kekurangannya, toh masih ada harapan dengan pengalaman panjangnya.Â
Cukup wajar dan layak juga jika berpikir demikian. Reputasi sebagai oposisi  yang baik dan masih dalam batas-batas yang bisa diterima nalar dalam berdemokrasi.
Perubahan sikap dan karakter berdemokrasi
Entah karena memang tidak siap kalah, atau karena tidak ada lagi kandidt yang cukup kompeten dan menjual sehingga akhirnya mencalonkan ini lagi. Â Kedua hal ini ada ada benarnya juga. Perilaku dan bahkan pernah juga mengaku bahwa tidak ada kamus kalah dalam pola politik mereka. Jadi ketika kalah, meradang dan tidak bisa menerima itu sebagai kenyataan.
Tidak ada kandidat lain yang layak menantang Jokowi. Susah, ada sembilan calon dari PKS pun mental. Ada AHY pun tersingkir. Survey dan analisis demi analis telah menyatakan bahwa hal ini memberikan jawaban bahwa memang tidak ada kandidat lain. Partai-partai yang ada di sana tidak memiliki tokoh yang mampu bersaing dengan Jokowi dalam level yang sama, kecuali calon yang sama.