KBBI memberikan batasan istilah, di mana aristokrat adalah  penganut cita-cita kenegaraan yang berpendapat bahwa negara harus diperintah olehkaum bangsawan (orang kaya dan orang yang tinggi martabatnya). Hal yang sangat lekat dalam adat budaya dan  kebiasaan bangsa ini, di mana dominasi adalah orang Jawa yang hidup dalam alam kerajaan.
Penjajahan yang membawa warna dan ciri militeristik bertemu dengan budaya feodalisme dalam model kerajaan.  Darah biru dulu menjadi segalanya, pewaris dan jelas akan menduduki posisi penting. Tidak heran di era  modern  ini pun jual beli gelar dari beberapa keraton masih dipakai. Sudah dari sononya mendarah daging.
Tentu ada pergeseran di mana aristokrasi ini tidak hanya kebangsawanan dan trah keraton yang bisa menguasai sebuah jabatan. Salah satu ciri aristokrat adalah pejabat militer. Khas Orba banget di mana tentara bisa menjadi apa saja. Bintara menjadi kepala desa, bupati-walikota itu letnan kolonel, gubernur itu bintang dua, atau mayor jenderal atau bintang tiga seperti DKI, menteri berarti bintang empat atau tiga dengan kualifikasi khusus. Â Khususnya angkatan darat, masuk AKABRI berarti jaminan bisa menjadi apapun. Kala itu.
Ciri-ciri aristokrat sebenarnya sangat kental dalam perilaku berbangsa di negera ini. Bagaimana kebangggaan akan koneksi, kenalan atau memiliki saudara berpangkat, akan menjadi jaminan ikut enak. Maka bisa terjadi jual beli gelar di keraton. Ini memang bukan lagi sebuah nama besar dan kebanggaan era ini, namun dua puluh hingga empat puluh tahun lalu itu sebuah prestasi.
Sedikit bergeser dengan adanya kebanggaan gelar berderet, tidak heran lahirlah gelar yang bisa diperjualbelikan. Hal yang terjadi kisaran akhir 90-an hingga awal 2000-an. Para pejabat, baik birokrat, militer, dan kepolisian bangga dengan gelar berjejer. Entah kapan kuliahnya.  Kampus dengan menjual double degree, kuliah kelas malam, dan sejenisnya sangat banyak dan marak.
Kini partai politik menjadi sebuah level masyarakat yang akan mengantar bisa menjadi apa saja. Soal kualifikasi bisa diatur. Dan itu merajalela, sehingga banyakk orang berlomba-lomba masuk partai.
Kelompok pengusaha yang memiliki modal memang akan selalu aman di manapun tempatnya dan apapun keadaannya. Dan di masa apapun tetap memiliki kelas atas yang aman untuk bisa mendapatkan keuntungan. Dan di sinipun kelas itu ikut banyak terlibat di dalam bernegara.
Kehadiran Jokowi yang bukan siapa-siapa. Bukan anak penggede negeri, bukan anak militer berpangkat, bukan juga anak kampus terpandang jaminan masa depan seperti STAN, Akabri, IPDN, kala itu lho, dan sejenisnya. UGM pun bukan yang mentereng, tiba-tiba merangsek dari bawah, walikota, gubernur DKI lagi, dan akhirnya presiden.
Pantas bukan jika mayoritas anak negeri yang sama kelasnya, bukan siapa-siapa itu ikut merasa jadi bagian dari Jokowi. Namun para aristokrat patut meradang dan memilih menendang dengan berbagai-bagai cara. Memangnya murah apa masuk dunia militer, masuk menjadi elit partai, menjadi pengusaha level atas.
Bayangkan pengusaha dari daerah pinggiran Solo, bukan klongkomerat seperti Abu Rizal Bakri atau keluarga Uno, atau sekaliber Kalla. Akademisi sekelas Amien Rais, profesor dan doktor yang bergelimang seminar. Toh menyalonkan diri menjadi presiden juga kalah dan tersingkir.
Kelompok-kelompok ini lah yang meradang, marah, dan merasa teraniaya. Titian jalan ke sana yang mulai menunjukkan titik terang terenggut oleh wong ndesa ini. Beda dengan penguasa Orba yang juga wong ndesa namun lupa jiwa sederhananya. Menjadi pribadi yang adigang adigung terhadap rakyatnya.