Beberapa waktu ini sedang hangat soal Mami Uno yang merasa sakit hati melihat apa yang menimpa sang putera. Hal yang wajar sebagai seorang ibu. Tentu ada pro dan kontra, ada yang mencibir pun ada yang membela. Sangat bisa dipahami jika si Mami Uno bersikap demikian.
Malah justru makin memperlihatkan kualitas Sandi sebagai pribadi, anak sekaligus cawapres. Kualitas pribadinya malah menjadi sebuah pertanyaan dengan sikap Mami Uno ini. Jangan-jangan kesuksesannya selama ini lebih banyak peran Mami Uno daripada capaiannya sendiri. Beberapa indikasi cenderung memberikan bukti tersebut. Pun pergaulan sebagai politikus setali tiga uang.
Dalam sebuah acara Si Anak Mami Uno mengaku kalau semasa sekolah ia adalah siswa minoritas. Halo, ini konteks ia sekolah adalah di bawah 90-an. Isu minoritas-mayoritas sama sekali tidak terdengar, kecuali, maaf untuk kalangan etnis Thionghoa saja. Lainnya tidak ada masalah. becanda agama seperti becanda lawakan lain, tidak ada persoalan pelecehan dan sebagainya.
Seolah ia hendak memainkan isu hari ini yang sangat sensitif itu ke masa di mana sekolah, padahal sama sekali tidak terbukti. Sama sekali tidak ada model intimidasi soal SARA di sekolah, PL misalnya.Â
Apalagi di Jakarta, mana ada siswa Katolik menjadi mayoritas, kecuali seminari sih? Tidak heran, dalam sebuah meme, alumni PL mengatakan tidak mendukung Sandi karena omong ngawur mana ada PL mayoritas Katolik. Tentu ini konteksnya guyon.
Apalagi dalam waktu yang tidak terlalu lama, Imam Besar Al-Azar malah menyerukan jangan kalian pakai kata minoritas, Kristen di Timur Tengah dan rekan, saudara. Minoritas tidak boleh menjadi label baik oleh yang lebih besar pun oleh penganut yang lebih kecil.
 Semua sama, semua setara, mau banyak atau sedikit, mengisi dunia yang sama. Apa yang dinyatakan anak Mami Uno mengucilkan diri dalam pergaulan internasional karena memainkan isu sektarian seperti ini.
Salah pergaulan, sehingga banyak rekannya malah mengundurkan diri sebagai rekan dalam politik dan memilih mendukung Jokowi. Dalam sebuah deklarasi dukungan alumni, ternyata relawan yang menjadi motor adalah rekannya di dalam membuat perusahaan. Wajar ketika Jokowi malah kaget atas deklarasi itu.Â
Candaan alumni juga benar meskipun bernada becanda, bahwa ini pilihan presiden pemimpin negara, bukan ketua alumni yang memberikan syarat harus lulusan sekolah tersebut.
Menarik ke belakang, salah pergaulan ini pun dalam konteks yang lebih luas ada benarnya. Bagaimana partai politiknya cenderung menjadi ugal-ugalan, sembrono, dan waton sulaya, selama periode ini.Â
Dulu sepuluh tahun lampau ketika menjadi "oposisi" SBY, bersama PDI-P, Gerindra menjadi bagian luar  pemerintahan dengan relatif baik dan bermartabat. Malah PKS dan Golkar yang ugal-ugalan di dalam pemerintahan.
Tidak terlalu gegabah juga jika mengatakan kalau pengaruh PKS lebih kuat dan lebih memberikan warna sehingga berlaku dengan gaya politik selama ini. Perilaku mereka yang konsisten seperti itu, Gerindra cenderung berubah kali ini. Bisa tidak cukup berlebihan kiranya mengatakan kalau pengaruh dan salah gaul ada pada partai ini.
Beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang asal-asalan, maka lahirlah "Sandiawara" itu yang membuat ada ibu yang sakit hati. Ini salah Sandi si Anak Mami Uno bukan si maminya. Orang dewasa, bahkan sudah menjadi orang tua juga, berpolitik lagi, salah memilih kawan bisa runyam.
Kini hobi melahirkan kebohongan demi kebohongan, bahkan drama, sandiwara. Awalnya dulu hanya sendirian, ke belakang melibatkan pihak lain. Awal masa kampanye beberapa bulan yang lalu, seolah monolog, dengan belanja Rp. 100.000,00 hanya dapat sedikit. Beramai-ramai kelompoknya mendukung aksi itu. Dan dengan  mudah dipatahkan.
Tempe setipis ATM juga masih monolog, hanya sendirian dan mengatakan kalau semua mahal, maka tempe hanya setipis kartu ATM. Terbantahkan bahkan oleh Jokowi langsung dan dari sinilah pedagang pasar banyak yang menolak ketika ia datang karena pembel ketakutan atas narasinya yang ngawur itu. Tidak bebenah dan malah makin kacau karena melibatkan pihak lain.
Laiknya sandiwara, teater, atau drama, ada pemain lain, pengambil gambar dan ada filmnya, ada narasinya. Paling tidak ada tiga kisah yang mungkin ceroboh atau sengaja, yang jelas kedodoran ketika ketahuan ada unsur dugaan settingan.
Ada mak-mak histeris, bahkan sampai menangis segala mau berphoto dan berdekat-dekatan. Mau mengambarkan sebagai pemimpin yang dirindukan. Eh ternyata adalah salah satu anggota atau kader partai yang ditengarai menerima bagian kardus. Ketahuan apa yang dimaksukan, dan masih saya cengengesan.
Ternyata belum cukup, malah lagi-lagi membantu korban banjir. Lagi-lagi skenario belepotan atau  memang kualitas kepemimpinannya yang memang hanya segitu. Si korban banjir ini depannya belepotan lumpur. Laiknya korban banjir, tetapi ternyata di balik badang itu, pungggungnya bersih tanpa ada lumpur.
Pembelaan dan tertawaan saling bersautan. Siapa yang benar dan siapa yang salah sudah bisa disimpulkan sendiri tentunya.
Terbaru. Ada petani menangis mengeluhkan komoditinya yang turun sehingga tidak mampu membayar tagihan bank. Eh kemudian ketahuan bahwa ternyata adalah mantan Komisioner KPUD masa lalu. Lagi-lagi kejadian dan terbongkar lagi model pendekatannya.
Ironis ketika ad curhatan itu, padahal mulai Juli hingga Oktober, media mewartakan bahwa Mentan melepas ekspor bawang dari Brebes ke Thailand, Taiwan, dan biasanya impor kali ini ekspor. Menjadi kontradiksi, apa  iya hanya dalam hitungan bulan sudah berbalik arah tanpa ada kejadian luar biasa. Maaf bisa terjadi jika ada tsunami atau bencana luar biasa. Sama sekali tidak ada, kecuali tsunami dramatisasi semata.
Pemimpin itu peduli  dengan tulus, bukan dalam bentuk settingan, tuduhan bahwa presiden atau Jokowi pencitraan. Lah ini siapa yang memainkan peran dan malah menyengaja perilaku kepedulian, perhatian, dan bentuk sapaan itu  hanya sebuah drama. Apakah model pemimpin dan kepemimpinan demikian bisa diharapkan bisa menjadi pemimpin yang baik?
Kebersamaan dengan rakyat, keprihatinan rakyat juga keprihatinan pemimpin, namun apakah benar demikian, ketika apa yang disajikan ternyata hanya sebentuk drama. Ini kepedulian bukan drama, bisa-bisa nanti di dalam hatinya malah ia tertawa terbahak-bahak karena geli. Apa yang disampaikan tidak didengarkan, namun hanya sepanjang dalam  kamera semata?
Mengerikan bukan jika perilaku demikian itu dilakukan dengan sadar oleh seorang pemimpin negeri ini. Bagaimana bisa begitu banyak persoalan namun malah memberikan gambaran salah satu bagian hidup rakyat itu sepanjang sesuai kepentingan semata.
Melihat kualitas dan model dalam membangun narasi politik dan berbangsa dengan demikian buruk, apa iya masih mau memilih pemimpin demikian? Jakarta yang telah ia menangkan pun tidak ada rekam jejak baik dan menonjol yang bisa dijadikan rujukan. Belum cukup bukti untuk memercayainya menjaid yang lebih besar.
Menjual derita, menggunakan politik korban itu sudah lewat, tidak lagi masanya. Politik cerdas itu perlu dibangun. Pendidikan politik dan demokrasi juga perlu dikembangkan. Masyarakat pemilih sudah beranjak maju, malah politikus miskin prestasi makin kuat di dalam mencoba terus-terusan membanjiri kebohongan demi maraup suara.
Rakyat sudah makin cerdas, perilaku bohong dan sandiwara pun diungkap oleh rakyat, bukan elit. Bukti rakyat makin cerdas dan tahu mana yang tulus atau hanya mencari simpati dengan cara keji.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H