Berkali ulang, para politikus pada kubu yang mengaku kritis selalu mendengungkan infrastruktur itu tidak dibutuhkan, karena rakyat tidak makan beton. Entah politikus ini asalnya dari pemain seni debus, atau kuda lumping, sampai memiliki pernyataan demikian. Jawaban presiden cukup wajar, lha siapa suruh makan infrastruktur.
Bangsa ini ternyata karena saking dimanjakannya oleh Tuhan Allah dengan tanah yang subur, makmur, dan ada ungkapan lama yang mengatakan, gemah ripah loh jinawi, ungkapan yang memberikan bukti syukur atas kekayaan negeri ini. Bayangkan saja depan rumah ada parit ada ikan yang bisa menganjal perut. Sekeliling rumah ada pohon sagu yang ditabang diolah mengenyangkan perut. Sebelum sagu siap makan, sudah bisa diganjal dengan daging ikan atau binatang lainnya.
Kawasan lain kaya akan jagung dan talas. Dan itu kekayaan alam yang bisa begitu saja tanpa kita perlu susah-susah harus ditanam, dirawat dengan belibet. Tentu itu di pedesaan, sekitar hutan, dan sejenisnya. Dalam sebuah pemberitaan media disebutkan kisaran 80% kawasan negeri ini adalah desa. Dan sisanya yang hanya 20% adalah kota. Namun distribusi penduduknya tidak berimbang karena 20% itu dihuni oleh 56% warga dan sisanya yang 4/5 bagian hanya dihuni oleh 44% saja.
Masalah timbul karena kawasan yang hanya seperlima itu dihuni dengan begitu padat, masih ada lagi harus berbagi dengan berbagai-bagai fasilitas lainnya. Apa yang terjadi? Kebutuhan akan pangan bergantung pada kawasan lain. Desa dan  pedesaan yang harus menyokong itu semua. Butuh infrastruktur yang memadai.
Kawasan hutan dan desa, banyak hasil pangan yang tidak terserap dengan baik. Kuliner bangsa ini sangat kental dengan olahan fermentasi. Hal ini adalah sedikit banyak karena produk segar tidak tertangani dengan segera. Ada tape atau peyeum, wadi, bekasam, tempoyak, itu hasil alam, ikan, durian, singkong, yang perlu diawetkan, karena kesegarannya yang cukup singkat. Kebijaksanaan lokal yang masih bisa  lestari hingga hari ini. Toh kini disengaja bukan karena distribusi yang terhambat.
Ketimpangan produsen dan konsumen di antara desa dan kota, para konsumen di kota, dan produsen jauh di pedalaman perlu yang namanya distribusi. Nah, ini peran signifikan namanya infrastruktur.Â
Infrastruktur itu bukan menjadi tujuan, namun sarana untuk membangun kesejahteraan, baik jasmani maupun rohani.
Ada kebijaksanaan yang memang tidak tepat di masa lalu, ketika menjadikan nasi atau beras sebagai makanan nasional. Seluruh Indonesia menjadi konsumen beras dan nasi. Padahal banyak kawasan di negeri ini tidak bisa menghasilkan beras sesuai dengan kebutuhan setempat. Kebijakan lokal sangat beragam di Indonesia untuk penghasil karbohidrat ini. Di Nias dengan keladi atau talas. Kawasan rawa-rawa cenderung sagu seperti Kalimantan dan Papau. Jagung milik orang Madura dan NTT-NTB. Â Atau ketela seperti pegunungan di Jawa Tengah dan DIY, Jatim pun beralih.
Ketika pemerintahan lampau mengganti semua menjadi nasi atau beras, lumbung dan sawah di sebagian Jawa dan Sumatera harus memenuhi seluruh kebutuhan Indonesia. Pelan-pelan semua wilayah menjadi petani padi. Toh hasil tidak bisa optimal. Solusi instan impor. Ini baru satu komoditas.
Fakta kebutuhan infrastruktur sudah tersaji, distribusi dari produsen dan konsumen mendesak. Bukti berikutnya, tidak semua kawasan dan wilayah menghasilkan produk yang dibutuhkan dengan segera. Perlu adanya distribusi secara segera dan aman tentunya.
Jalan tol dan jalan bukan untuk dimakan. Tetapi mengantar bahan makanan lebih cepat, aman, masih segar, dan lebih bermanfaat. Mikir, kata Cak Lontong.