Lagi dan lagi terulang, kekerasan murid pada guru. Hal yang identik kedua, ini lebih parah. Dulu hanya murid menghalang-halangi guru, konteks becanda, jadi masih bisa dipahami dan diterima nalar ketika diselesaikan dengan jalan tengah. Damai yang artinya tidak benar secara esensi. Terulang.
Lebih parah karena si siswa melakukan pelanggaran, merokok. Ditegur malah menantang sampai memegang krah baju si guru. Ini bukan lagi kenakalan remaja, namun sudah level kurang ajar dan nrunyak. Lagi-lagi drama menangis dan menyesal jadi lagu lama yang diulang sampai usang. Budaya bar-bar yang ada di era modern. Miris dan ngeri.
Beberapa hal bisa menjadi penyebab sikap kurang ajar ini.
Keteladanan. Tidak bisa disangkall lagi soal ini sangat minim dan miskin. Jika tidak mau terlalu pesimis hampir tidak ada. Guru banyak orientasi mengejar target kurikulum dan sertifikasi, guru tetap , atau ASN.  Lebih jauh lagi keteladanan dalam keluarga dan masyarakat. Anak-anak disuguhi terus menerus  perilaku  ugal-ugalan politikus sontoloyo. Secara langsung atau pun tidak, mereka tetap melihat dan menyerap itu. Hal yang sangat parah dan fatal malah dilihat sebagai normal. Biadab bukan beradab.
Kewibawaan. Susah sih di zaman kacau balau seperti ini. Guru mencubit saja bisa urusan dengan Komnas HAM dan Komnas Anak atau polisi. Produk hukum ngawur plus sikap masyarakat kacau balau yang tidak mau kerja keras. Coba dibalik, pernah tidak orang tua itu menepok anaknya misalnya. Apa yang terjadi ketika yang melakukan guru. Nah di sini dilema dialami guru. Mau tegas nanti bisa terjadi dikatakan kekerasan di kelas.
Kisah faktual, ada teman guru melempar bola, dia memang suka model pendekatan pada murid dan menjaga tertib kelas dengan itu. Anak yang ramai ia lempar bola plastik kecil yang biasa mainan mandi bola. Apa yang terjadi? Anak itu menangis lapor guru BP katanya diperlakukan keras dan kasar oleh guru bidang studinya. Ada juga anak hanya dihukum berdiri di depan kelas, mengaku kakinya patah karena dihukum gurunya. Orang tuanya datang mau mengadukan ke Komnas HAM. Semua faktual.
Kewibawaan guru telah terongrong oleh peraturan yang dibuat orang tidak tahu apa-apa. Belum lagi tabiat orang tua lebay. Ada juga yayasan yang melihat murid itu aset sehingga jangan sampai ditegur, apalagi dibentak dan dijewer misalnya. Kadang anak model sekolah demikian juga nakalnya  tidak ketulungan. Apa bisa dengan cara konvensional di dalam menegakan aturan?
Saya termasuk orang yang tidak mau tahu bahwa kekerasan itu dilarang dalam pendidikan. Â Tidak semudah kata orang apalagi kata UU di dalam kegiatan belajar mengajar. Ada anak yang biasa digampar di rumah, apa bisa diberi tahu dengan halus dan bicara baik? Ada juga anak yang dididik lmbut di rumah, dibentak ya akan mengkeret. Di sinilah seni yang orang tidak ketahui soal pendidikan dan susahnya pendidik dan pengajar itu.
Media, sering didengungkan berita buruk adalah berita yang menarik, dan itu diulang-ulang seperti kaset rusak saja. Belum lagi media sosial. Televisi yang lebih banyak menemani keluarga sehari-hari juga melakukan hal yang sama. Pengulangan demikian, dan melihat penyelesaian sederhana dan mudah, akan membuat anak tidak takut, tangisan buaya sejenak, selesai.
Peran media menjadi penting, jangan hanya mengejar ratting dan hits saja demi iklan, namun juga peran pendidikan menjadi penting dan mendesak. Pengajaran buruk yang dikembangkan lagi tanpa bimbingan.
Media sosial asal viral. Ini masalah krusial, di mana membawa HP berkamera bisa melakukan apa saja di kelas. Beberapa waktu lalu, ada anak main kuda-kudaan serius bukan dalam arti mesum, si guru tetap saja nerocos mengajar. Â Apakah sekolah cukup berwibawa melarang murid mengaktifkan gadgetnya di kelas? Guru pun bisa jika mampu menjaga otoritasnya sebagai penanggung jawab kelas.