Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kekerasan Murid pada Guru, Kewibawaan, Keteladanan, dan Pembiaran

11 Februari 2019   09:51 Diperbarui: 11 Februari 2019   09:56 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lagi dan lagi terulang, kekerasan murid pada guru. Hal yang identik kedua, ini lebih parah. Dulu hanya murid menghalang-halangi guru, konteks becanda, jadi masih bisa dipahami dan diterima nalar ketika diselesaikan dengan jalan tengah. Damai yang artinya tidak benar secara esensi. Terulang.

Lebih parah karena si siswa melakukan pelanggaran, merokok. Ditegur malah menantang sampai memegang krah baju si guru. Ini bukan lagi kenakalan remaja, namun sudah level kurang ajar dan nrunyak. Lagi-lagi drama menangis dan menyesal jadi lagu lama yang diulang sampai usang. Budaya bar-bar yang ada di era modern. Miris dan ngeri.

Beberapa hal bisa menjadi penyebab sikap kurang ajar ini.

Keteladanan. Tidak bisa disangkall lagi soal ini sangat minim dan miskin. Jika tidak mau terlalu pesimis hampir tidak ada. Guru banyak orientasi mengejar target kurikulum dan sertifikasi, guru tetap , atau ASN.  Lebih jauh lagi keteladanan dalam keluarga dan masyarakat. Anak-anak disuguhi terus menerus  perilaku  ugal-ugalan politikus sontoloyo. Secara langsung atau pun tidak, mereka tetap melihat dan menyerap itu. Hal yang sangat parah dan fatal malah dilihat sebagai normal. Biadab bukan beradab.

Kewibawaan. Susah sih di zaman kacau balau seperti ini. Guru mencubit saja bisa urusan dengan Komnas HAM dan Komnas Anak atau polisi. Produk hukum ngawur plus sikap masyarakat kacau balau yang tidak mau kerja keras. Coba dibalik, pernah tidak orang tua itu menepok anaknya misalnya. Apa yang terjadi ketika yang melakukan guru. Nah di sini dilema dialami guru. Mau tegas nanti bisa terjadi dikatakan kekerasan di kelas.

Kisah faktual, ada teman guru melempar bola, dia memang suka model pendekatan pada murid dan menjaga tertib kelas dengan itu. Anak yang ramai ia lempar bola plastik kecil yang biasa mainan mandi bola. Apa yang terjadi? Anak itu menangis lapor guru BP katanya diperlakukan keras dan kasar oleh guru bidang studinya. Ada juga anak hanya dihukum berdiri di depan kelas, mengaku kakinya patah karena dihukum gurunya. Orang tuanya datang mau mengadukan ke Komnas HAM. Semua faktual.

Kewibawaan guru telah terongrong oleh peraturan yang dibuat orang tidak tahu apa-apa. Belum lagi tabiat orang tua lebay. Ada juga yayasan yang melihat murid itu aset sehingga jangan sampai ditegur, apalagi dibentak dan dijewer misalnya. Kadang anak model sekolah demikian juga nakalnya  tidak ketulungan. Apa bisa dengan cara konvensional di dalam menegakan aturan?

Saya termasuk orang yang tidak mau tahu bahwa kekerasan itu dilarang dalam pendidikan.  Tidak semudah kata orang apalagi kata UU di dalam kegiatan belajar mengajar. Ada anak yang biasa digampar di rumah, apa bisa diberi tahu dengan halus dan bicara baik? Ada juga anak yang dididik lmbut di rumah, dibentak ya akan mengkeret. Di sinilah seni yang orang tidak ketahui soal pendidikan dan susahnya pendidik dan pengajar itu.

Media, sering didengungkan berita buruk adalah berita yang menarik, dan itu diulang-ulang seperti kaset rusak saja. Belum lagi media sosial. Televisi yang lebih banyak menemani keluarga sehari-hari juga melakukan hal yang sama. Pengulangan demikian, dan melihat penyelesaian sederhana dan mudah, akan membuat anak tidak takut, tangisan buaya sejenak, selesai.

Peran media menjadi penting, jangan hanya mengejar ratting dan hits saja demi iklan, namun juga peran pendidikan menjadi penting dan mendesak. Pengajaran buruk yang dikembangkan lagi tanpa bimbingan.

Media sosial asal viral. Ini masalah krusial, di mana membawa HP berkamera bisa melakukan apa saja di kelas. Beberapa waktu lalu, ada anak main kuda-kudaan serius bukan dalam arti mesum, si guru tetap saja nerocos mengajar.  Apakah sekolah cukup berwibawa melarang murid mengaktifkan gadgetnya di kelas? Guru pun bisa jika mampu menjaga otoritasnya sebagai penanggung jawab kelas.

Pembiaran. Pembiaran dalam arti sebenarnya tidak ada tindak lanjut, juga penyelesaian dengan atas nama kekeluargaan. Guru posisi lemah dan kalah lagi. Salah satu pemberian hukuman dalam segala jenis bentuknya adalah memberi efek jera bagi pelaku juga orang lain. Ketika penyelesaian model ini terus menerus jangan harap keadaan menjadi  lebih baik. Permisif atas perilaku buruk bahkan jahat.

Termasuk dalam pembiaraan ini adalah sikap mendua, standart ganda, dan pembelaan yang tidak jelas. Ketika guru melakukan kekerasan adalah kriminal, namun ketika murid melakukan tindak kekerasan adalah kenakan remaja. Pelanggaran dobel lagi sih bukan lagi kenakalan anak, ini kejahatan. Lebih kurang ajar lagi berani memegang kerah baju guru.

Apakah ini kesalahan keluarga semata, atau guru yang tidak berwibawa, atau pemerintah malah? Semua terlibat, jangan hanya asal tuding dan menyelesaikan dengan instan.  Semua terlibat di dalam kesalahan ini. Keluarga jelas  memberikan peran dan dampak besar. Belum tentu anak kurang ajar di kelas juga di rumah. Bisa saja ia anak alim dan takut pada kerasnya ibu dan bapak atau kakak melampiaskan pada teman dan guru.

Peran pemerintah dan jajarannya adalah memberikan pendampingan pada guru dan murid ini agar berubah jangan malah berulah lebih parah lagi. Jangan lepas tangan atau malah membawa ke ranah pidana. Ini serius, anak sudah tidak tahu bedanya teman dan guru di dalam bersikap.  Termasuk menertibkan sekolah yang asal murid masuk dan mau berbuat apa saja boleh asal bayar, ini banyak, jangan dianggap tidak ada. Kadang sekolah elit dengan pakaian rapi dan mewahh menyimpan pola pendidikan yang buruk.

Dunia penndidikan bergeser pada dunia bisnis, ini ada banyak dampak yang melingkari dunia pendidikan. Sekolah yang tidak mampu bersaing akan menerima anak buangan yang biasanya tingkahnya aneh-aneh, dan mohon maaf dengan segala kerendahan hati, gurunya pun ala kadar, yang kadang sama sekali tidak memiliki wibawa.

Masalah sangat serius yang masih belum tersentuh kesadaran bersama. Hiruk pikik politik yang malah membawa ampak buruk karena pemberitaan yang tidak karu-karuan. Perilaku ugal-ugalan politik miskin prestasi dan esensi pun setali tiga uang.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun