Perlu demi 2024, suka atau tidak, rela atau tidak, harus teken dukungan. Tidak mau datang dan si calon yang sowan untuk meminta tanda tangan. Sikap luar biasa yang bisa dipahami, mungkin oksigen di jantung hanya tinggal seuprit saja. Jadi rekan koalisinya sangat paham.
Paling menyesakan ketika harus di hadapan publik melihat si bukan siapa-siapa itu diarak di hadapannya persis. Jangan kaget jika tiba-tiba marah dan balik kanan pulang ke rumah. Masih kalah beratan nyanyi di pesta mantan lah. Pesta mantan itu hanya terbatas yang menyaksikan, lha ini pedih dan perih.
Sikapnya untuk menjaga jarak dan tetap diam itu bukan soal yang mudah. Bagaimana ribetnya dan kesukaannya bercuit itu tak tertahankan. Apa daya kini hanya "penonton" dengan nafas berat itu harus menyaksikan hingar bingar pesta kawan sekaligus rival di depan mata. Harus senyum, tertawa, dan bersorka sebagaimana tamu pesta pernikahan.
Ternyata belum cukup luka ditorehkan, pas ada pertemuan para elit, eh lagi-lagi dicuekin, dan memilih yang lain.  Ini pedih, perih, duka lara campur aduk tidak karuan.
Tiba-tiba luka masih basah itu kembali diguyur garam dan asam cuka, ketika tudingan pembangunan telah salah sejak lama. Kebanggaan satu persatu dirontokan, dan masih ada secuil kebesaran saja lagi dan lagi malah dipukul dengan telak dan habis sudah. Teman model apa seperti ini. wajar ketika dukungan setengah hati padahal yang dinanti adalah setengah mati.
Nyesek itu memang sangat berat, susah juga obatnya, berat masih bisa dibantu, kalau nyesek? Susah lah pokoknya.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H