Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nyeseknya Demokrat, Gak Senyesek Hadiri Pesta Pernikahan Mantan

11 Februari 2019   08:15 Diperbarui: 11 Februari 2019   08:18 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nyesek itu seperti ini,

Ilustrasi pertama, di kost  atau kotrakan tanggal tua, mie instan tinggal satu, mie goreng lagi. Masak memakai pemanas air, jadi direndam bukan direbus. Lapar berat, hujan lagi, mau cari makan susah, pas mau niriskan, eh tumpah. Buat apa sudah susah-susah  buat rendaman mie coba.

Atau kisah ini, ada abg yang sudah siap-siap dengan pengamatan untuk pendekatan pada gebetan. Pas sudah cukup data dan yakin kebiasaan si gadis pujaan, bangun lebih pagi, mandi, bersolek, dan dimarahi kakaknya karena habiskan parfumnya lagi. Eh pas sampai depan rumahnya si gadis memilih teman sekelasnya yang bermobil.

Dramatis nyeseknya juga ini, mantan menikah eh maksa kudu datang  karena ternyata mempelainya itu adalah anak  sobat ortu. Coba bayangkan kayak apa melihat mantan suap-suapan dan ciuman ditepuk tangani orang segedung. Beda kalau adegan dewasa itu ditangkep hansip.

Nyesek ala mak-mak, uang saku untuk anaknya pergi sekolah, tinggal selembar itu, eh sudah didahului dicolong si suami untuk beli rokok dan kopi di warung sebelah yang sudah membuat sebel itu. Hilangnya uang sudah membuat murka, eh ke warung sebelah yang sudah membuat sebel duluan.

Guru pun bisa nyesek berganda-ganda. Di rumah diomeli istri karena gaji sudah habis, anak menangis minta gadget sama dengan temannya, di jalan ban bocor, ditilang pula karena lawan arus. Eh pas masuk gerbang sekolah dinanti wajah cemberut kepsek karena terlambat lagi. Ke kelas anak didik sudah konser karena dipikir pak guru gak datang. Bisa jantungan dan stroke bukan?

Ini level yang rakyat alami, sangat manusiawi, alamiah, dan banyak temannya. Beda nyeseknya kalau dialami elit, tokoh nasional lagi, dikenal sebagai seorang tokoh besar, merasa diri sukses dan gilang gemilang dengan berbagai klaim pribadi dan dukungan palsunya. Memiliki generasi penerus yang sangat dibanggakan, dan sangat menjanjikan. Ditawarkan ke mana-mana karena modalnya memang cumpen kali ini.

Merasa sebagai partai besar, memiliki trah yang sudah pernah moncer, partai juga pernah jadi pemenang pemilu, ada keturunan yang mirip-mirip dengan si tokoh besar, tidak heran percaya diri menjadikannya calon gubernur. Segala upaya bahkan dengan hal di luar kebiasaan. Santun jadi meradang dan marah besar, toh yang digadang-gadang terpental dini. Santai ini hanya pengenalan medan. Naik kelas.

Polarisasi pilpres tetap sama dengan 2014. Tentu dengan berbagai-bagai pertimbangan kedua kubu tetap didekati. Politik itu cair menemukan faktanya. Jalan sana jalan sini, ketemu sana ketemu sini, makan siang di sana, makan malah dengan sini. Sangat lumrah. Penetapan calon makin dekat. Survey sebagai bak sosok yang  tak terbantahkan memberikan keyakinan bahwa peluangnya cukup kuat dibandingkan rial-rival lainnya.

Badai kardus mendera. Kandidat yang digadang-gadang tersingkir dalam detik akhir. Kemarahan yang tidak mungkin diluapkan, ingat bukan budayanya  ngamuk, palingan tantrum, itu jadi meradang. Orang lingkaran utamannyalah yang berteriak lantang. Jenderal kardus dan jenderal baper menguar ke udara perpolitikan nasional.

Kubu yang lain sudah tertutup rapat karena persoalan pribadi dan politik yang tidak terjembatani lagi rupanya. Pun memang kandidatnya tidak cukup kuat dan menjanjikan. Jadinya dengan amat nyesek, mendukung sisi lain.

Perlu demi 2024, suka atau tidak, rela atau tidak, harus teken dukungan. Tidak mau datang dan si calon yang sowan untuk meminta tanda tangan. Sikap luar biasa yang bisa dipahami, mungkin oksigen di jantung hanya tinggal seuprit saja. Jadi rekan koalisinya sangat paham.

Paling menyesakan ketika harus di hadapan publik melihat si bukan siapa-siapa itu diarak di hadapannya persis. Jangan kaget jika tiba-tiba marah dan balik kanan pulang ke rumah. Masih kalah beratan nyanyi di pesta mantan lah. Pesta mantan itu hanya terbatas yang menyaksikan, lha ini pedih dan perih.

Sikapnya untuk menjaga jarak dan tetap diam itu bukan soal yang mudah. Bagaimana ribetnya dan kesukaannya bercuit itu tak tertahankan. Apa daya kini hanya "penonton" dengan nafas berat itu harus menyaksikan hingar bingar pesta kawan sekaligus rival di depan mata. Harus senyum, tertawa, dan bersorka sebagaimana tamu pesta pernikahan.

Ternyata belum cukup luka ditorehkan, pas ada pertemuan para elit, eh lagi-lagi dicuekin, dan memilih yang lain.  Ini pedih, perih, duka lara campur aduk tidak karuan.

Tiba-tiba luka masih basah itu kembali diguyur garam dan asam cuka, ketika tudingan pembangunan telah salah sejak lama. Kebanggaan satu persatu dirontokan, dan masih ada secuil kebesaran saja lagi dan lagi malah dipukul dengan telak dan habis sudah. Teman model apa seperti ini. wajar ketika dukungan setengah hati padahal yang dinanti adalah setengah mati.

Nyesek itu memang sangat berat, susah juga obatnya, berat masih bisa dibantu, kalau nyesek? Susah lah pokoknya.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun