Cukup kaget ketika melihat jalanan berornamen mirip "salib" ternyata dibongkar total dan dibangun ulang. Di atas puing yang sedang dibangun ulang, kini dalam konteks perayaan tahun baru Imlek, penuh dengan lampion dan simbol shio yang marak dan menarik. Ini pun sempat mendapatkan "penolakan."
Sebelum perayaan Imlek, juga ada "penolakan" di Bogor. Sikap gamblang dan tegas oleh pemerintah setempat dan MUI menjadi pembeda, daripada tahun-tahun yang lampau. Pembiaran dan permisifnya di dalam menyelesaikan kisah dan peristiwa intolteran seolah menjadi pupuk bagi perilaku ugal-ugalan dan memaksakan kehendak oleh sekelompok kecil namu bercorong besar. Ini bukan kelompok besar sebenarnya.
Ternyata di waktu yang hampir bersamaan Paus Fransiskus menjawab undangan dari penguasa UEA untuk hadir dan memimpin perayaan Misa Kudus bersama umat Katolik di UEA. Sangat mengispirasi bahwa pemerintahan UEA meliburkan seluruh sekolah ketika Perayaan Ekaristi oleh Paus. Tentu hal ini adalah memberikan kesempatan barangkali ada murid atau guru yang bersekolah bisa hadir dalam ibadat langka tersebut.
UEA jelas negara Timur Tengah dengan model pemerintahan agama, di mana agama adalah jiwa dan roh di dalam bernegara, namun berkenan mengundang pimpinan tertinggi umat yang di sana jelas jauh sangat kecil, dibandingkan di Indonesia. Sikap terbuka yang patut diacungi jempol di mana keberagaman pun ternyata di sana. Ini soal kehendak baik untuk kemanusiaan.
Penghormatan kemanusiaan akan menemukan esensinya ketika mau menemukan persamaan, bukan malah mengorek-orek perbedaan yang cenderung dicari-cari. Dan ternyata pemimpin UEA memberikan pembelajaran kepada Indonesia yang bangga akan Bhineka Tunggal Ika, namun makin jauh dari semangat itu.
Syukur bahwa mengusik perayaan Imlek di Bogor ataupun di Solo tidak menjadi kenyataan. Kesigapan menjawab terutama dari Walikota Bogor dan MUI setempat patut mendapat apresiasi tinggi, di mana ketika intoleran makin merebak, masih ada angin sejuk pembaharuan yang penuh harapan. Ini sebuah oase di tengah intrik politik sektarian dan dikotomi liyan menjadi pudar.
Sekian lamanya sesak bangsa ini dengan perselisihan tiada kunjung habis, pokok masalah ada politik. Persoalan politik di mana salah satu begitu tinggi dan satu sisi demikian rendah. Nah ketimpangan ini tidak dibangun dengan bermartabat, namun menjual dagangan sensitif agama, dan pernah sukses dengan itu, dan itu akan diulang-ulang terus. Syukur bahwa ada yang mulai bersuara dan itu pihak yang memang sudah seharusnya berbuat demikian.
Sekali lagi, ini berkali ulang saya jadikan bahan tulisan. Pernah dalam komentar dalam salah satu artikel saya berbicara Pancasila dan toleransi ada komentar dari Kompasianer yang mengatakan kalau Pancasila dan toleransi hanya kepentingan minoritas atas jaminan mereka. Sungguh miris ketika ada anak bangsa berbuat demikian.
Toleransi dan Pancasila sebagai azas yang menjadi jembatan antara atas keberagaman bangsa ini bukan kepentingan banyak atau sedikitnya anak bangsa ini. Dikotomi mayoritas dan minoritas ini adalah akal-akalan penjajah yang hendak menanamkan sikap curiga saja. Sikap minder, inferior, dan merasa jemawa karena temannya banyak. Liyan yang sedikit dijadikan batu pijak kepentingan semata. Sayang seribu sayang malah diadopsi oleh pemerintahan yang lalu lalu untuk melangggengkan kekuasaannya semata.
Pembiaran atas perilaku intoleran. Jangan bicara Orba dan toleransi. Hanya semu dengan ajian sakti Pancasila. Apalagi ketika ada pemimpin takut memiliki musuh dengan akomodatif membiarkan benih-benih inteloran dan gerakan fundamentalis merajai seluruh lini baik birokrasi, militer, dan juga partai politik. Sepak terjang mereka yang telah demikian dalam susah kini untuk dibenahi tanpa adanya kehendak kuat dan baik dengan sepenuh daya dan upaya bagi negara.
Pembubaran ormas yang tidak mau mengakui keberagaman dan Pancasila saja menemui banyak sandungan. Pembelaan demi pembelaan hadir. Mengapa demikian? Ya karena sudah sekian lama berkolaborasi asyik dengan kekuasaan dan aman-aman saja. Mana ada sih macan tidur disundut besi tidak mengaum dan mencakar ke mana-mana? Ini hal serius dan sangat terlambat, namun apa daya dan itu juga bolehlah didukung karena jika tidak, sangat mengerikan.
Beberapa tahun lalu, jangan ada harapan ucapan selamat Natal dan Tahun Baru di jalan, media televisi, dan sejenisnya. Hanya karena karyawan mengenakan topi santa saja bisa jadi heboh, memangnya topi santa itu mengbah iman? Dan adanya sweeping demi sweping oleh ormas tertentu itu sangat biasa, Â bahkan polisi pun diam semata. Ini masalah kepemimpinan bukan soal mayoritas dan minoritas. Toh lembaga yang lebih banyak pengikutnya tidak sekaku dan sekasar itu perilakunya.
Penafsiran atas tafsiran yang diakui sebagai kebenaran hakiki dan bahkan mutlak seperti Sabda Tuhan telah menggejala. Di sanalah adanya pemaksaan kehendak dan upaya penyeragaman. Di sinilah nilai toleransi terciderai. Apa yang diperjuangan dengan ngotot dan otot semata itu pun tafsiran sesuai kepentingannya sendiri. Buah dari perilaku umat beragama yang akan memberikan arah mana yang lebih tepat sebagai manusia beragama.
Mengapa masuk kanal politik? Karena ini bukan soal humaniora, namun soal politik. Kepentingan politik yang menggunakan sentimen keagamaan demi meraih kekuasaan.
Selamat Tahun Baru Imlek.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H