Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia Barokah dan Politik Kebo Ijo Modern

27 Januari 2019   11:16 Diperbarui: 27 Januari 2019   11:32 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu terkakhir, ada keriuhan baru, ketika masjid-masjid mendapatkan kiriman model tabloid dengan nama Indonesia Barokah.  Ingatan orang dan politikus langsung pada model Obor Rakyat dengan model, cara, dan isi yang cenderung identik. Sasaran adalah masjid. Memang soal isi bertolak belakang, ini yang membuat makin panas tensinya.

Era kerajaan cukup familiar dengan kisah Ken Arok dengan  Kebo Ijonya. Pribadi yang cukup narsis, jika ala sekarang, Kebo Ijo selalu memamerkan keris saktinya. Ke mana-mana ia tunjukkan dan pamerkan kesaktian pusakanya itu. kalau sekarang mungkin selfie dan up date status dengan pusakan saktinya.

Ketika keris itu menancap pada tubuh Tunggul Ametung, tersangka kuatnya siapa lagi, jika bukan Kebo Ijo yang banyak saksi melihat dan tahu senjata itu dibawa-bawa si Kebo Ijo. Rekam jejak masih mengandalkan ingatan, dan kesaksian yang kasat mata. Belum ada CCTV siapa yang mengambil keris dari Empu Gandring, siapa yang memberikan kepada Kebo Ijo dan seterusnya. Apalagi masa itu, kesaksian sangat mudah diciptakan. Akhirnya Kebo Ijo menjadi satu-satunya terdakwa pelaku pembunuhan akuwu dan mati hukumnya.

Obor hampir lima tahun lalu dengan isi yang sama-sama dipahami, sudah membawa pimpinannya menjadi terpidana. Toh masyarakat juga tahu kebenarannya, meskipun dampak itu semua semua hingga hari ini masih cukup kuat. Pengakuan pihak yang kini berpindah haluan, bahkan cukup inti yang mengatakan tahu bahwa isi Obor itu seperti apa, artinya kebenarannya sama-sama bisa dengan mudah dinilai.

Jelas sebelah kubu mana yang didukung, meskipun tetap diakui bukan tim sukses mereka secara resmi. Toh dampak dan hasilnya siapa yang menikmati. Toh sangat  logis model demikian, apalagi sampai menjadi urusan hukum, paling aman ya tidak berkaitan.

Model distribusi menggunakan  alamat masjid, dan penelusuran alamat penerbit juga tidak ditemui. Pilpres usai dan makin gamblang terkuak siapa dan ke mana tujuan politik dari penerbitan ala OR waktu itu. Dan itu dengan mudah ditemui isinya, siapa saja yang memihak dan mendukung OR atau berseberangan, dan faktanya yang mana lebih mendekati kebenaran hingga kini ada komplet. Beda dengan Kebo Ijo.

Kini, 2019, hadir yang namanya IB, pengiriman ke alamat dengan model yang sama dengan OR. Pelaku dan penanggung jawab pers mengatakan itu bukan produk jurnalisme yang baik. Dua kubu yang berkontestasi pada pilpres berdiri saling berhadapan. BPN menuduh itu mendiskreditkan usungannya, pelaporan polisi dan Bawaslu. Wajar.

Sisi lain TKN mengatakan, kan bukan hoax dan itu fakta mengapa sewot? Tanpa adanya klaim dan pengakuan bahwa itu ulah mereka. Ini juga wajar, karena isinya cenderung menguntungkan pihak mereka. Wajar juga.

Siapa paling mungkin di antara keduanya yang melakukan? Apa benar tudingan BPN atau hanya sesederhana pernyataan TKN?

Melihat polanya orang langsung teringat siapa pelaku di balik OR. Jadi tidak salah jika ada kecurigaan pelaku adalah 02, karena perilaku masa lalu bisa menjadi rujukan yang cukup signifikan. Susah membantah.

Soal isi ini yang menjadi pembenar bagi kubu 02 mengaitkan bahwa ini adalah gawe kubu sebelah yang hendak menjatuhkan usungannya di dalam pilpres. Cukup logis dan bisa diterima nalar sehat.  Toh memang demikian.

Pernyataan kubu 01 bahwa itu bukan hoax, seolah memberikan pengakuan samar, bahwa mereka ada keterlibatan. Bisa saja tidak, karena memang isinya menguntungkan kubu mereka.  Melihat pernyataan hanya sampai itu saja, tanpa ada lainnya toh jelas sangat dini mengaitkan itu benar-benar gawe mereka.

Buat apa harus membuat koran demikian, isinya pun lebih cenderung bukan sebuah prestasi, jauh lebih bermanfaat itu membuat rilis resmi atas capaian Jokowi sebagai capres mereka. Mana yang perlu dibenahi dan mengapa itu tidak bisa tercapai dengan gamblang.  Alasan yang cukup mentah  jika itu adalah terbitan oleh TKN baik sayap ataupun lepas, relawan misalnya. Dampaknya tidak cukup baik.

Selama ini siapa yang lebih suka bermain dengan isu dan "gelap-gelapan"? Jelas ke mana arahnya bukan? Dan sisi lain juga tidak terbiasa, dan tidak memiliki kepentingan dengan adanya koran itu, artinya keduanya bisa saja bukan pelaku, dan keduanya bisa juga pelaku dan memiliki dampak yang cukup signifikan.

Paling-paling akan menjadi jelas usai penghitungan suara. Akan ke  mana dan seperti apa penanganan IB ini apakah diusut ke pengadilan, atau usai begitu saja, terlupakan karena ya biasa, sebagaimana kasus-kasus lain di negeri ini. hanya hangat-hangat tahi ayam.

Menjadi penting adalah, agar politik dan demokrasi bangsa ini bukan semata riuh rendah panas-panasan dan kursi semata. Ada pendidikan berpolitik bahwa berdemokrasi juga memiliki aturan, tatanan dan aturan yang elok. Tidak menjadi kelompok yang sukanya memaksakan kehendak, menggunakan segala cara yang penting menang.

Di luar dua kepentingan yang saling berkompetisi, bisa saja ada kelompok yang ingin mendompleng dan memiliki agenda sendiri. Hal ini sangat mungkin dan justru sangat berbahaya model penumpang gelap, tidak jelas warna dan jenis kelaminnya demikian. Mereka tidak peduli siapa yang menang, karena hanya ingin mengacaukan tatanan yang baik di dalam negara yang sedang kelihatan harapannya ini.

Jauh lebih cerdas adalah tidak terpengaruh pada hal-hal yang tidak jelas, membuka pikiran untuk mencari kebenaran yang lebih mendekati kebenaran yang mendasar. Bagaimana menjunjung hukum dengan melanngar hukum. Mengaku demokratis namun mengabaikan azas-azas demokrasi. Ini penting. Pendidikan politik sangat mendesak, bukan semata kekuasaan, namun demokrasi beradab yang terjadi.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun