Sebelum bebas dari penjara, ada sebuah kesempatan untuk keluar, namun memilih membuat surat. Surat hasil permenungan yang baik dan mendalam bak retret pribadi. Bagus sebagai pencapaian spirtualitas pribadi.Â
Saatnya membuktikan apakah yang ditulis itu bisa dilakukan di luar penjara, itu tantangan terbesarnya. Eforia para pendukungnya bisa menjadi batu sandungan awal jika lupa hasil permenungannya.
Seumpama orang naik gunung, ketika di puncak bahagia amat sangat karena dekat Yang Kuasa, melihat hamparan luas di bawahnya, lupa capek dan kesulitan, serta tantangan yang ada. Nah ketika sudah turun itu yang real, faktual, dan kenyataan, apa masih bisa sama seperti ketika di puncak, rasa syukur itu.
Ahok ke BTP. Ini wujud paling mudah dan artifisial, sebutan yang bisa saja sangat menyakitkan awalnya bagi Ahok, ingin dijadikan masa lalu yang dikubur bersama penjara. Dulu, masuk ke biara, atau seminari, wajib hukumnya ganti nama sebagai sebuah simbol manusia baru yang terlahir.Â
Itu dulu ketika masih menilai hal itu esensial. Kini tidak lagi. Perubahan nama panggilan ini hanyalah sebuah simbol dan lambang menuju manusia baru. Cukup bagus, meskipun bukan yang esensial.
Dalam suratnya ia mengatakan bersyukur bahwa ia kalah, sehingga tidak menimbulkan banyak orang yang sakit hati, dan secara tidak langsung juga membuatnya makin sombong dan arogan. Penemuan mendalam atas perilaku lamanya.
Tetapi ini juga cukup baik bagi  hidup bersama, bagaimana penjara bukan malah menjadi sekolah kriminal lebih tinggi. Pameo selama ini kan copet, jambret, dan maling ayam, keluar dari penjara naik kelas menjadi rampok dan kainnya. Toh itu dibuktikan dengan perilaku ugal-ugalan koruptor yang main suap, kamar mewah, dan seterusnya.
Ada harapan bahwa penjara bisa mengubah pribadi, tinggal bagaimana jajaran Kemenhum HAM melaksanakan itu semua. Semua bisa asal mau. Konteks BTP ini adalah capaian pribadi, toh bisa dilakukan dengan yang lainnya. Jangan malah seperti di Solo kemarin, bentrok karena jelas memberikan bukti lemahnya LP sebagai sarana pemasyarakatan dan pembinaan.
Buah pertobatan dan perubahan itu jelas hak prerogatif Tuhan yang bisa dan mampu menilai, namun toh rekam jejak menuju kepada pribadi yang lebih baik tentunya juga bisa menjadi sarana menakar seberapa perubahan itu terjadi dalam hidup hariannya.
Ada kog di penjara puluhan tahun masih saja merasa benar dan tidak ada perubahan sikap sama sekali. Padahal jika melihat rekam jejak dan labelnya sebagai pegiat rohani bisa menjadi sarana mendekatkan diri pada Tuhan secara total. Kembali pada sikap batin masing-masing bukan?Â
Pertobatan itu perubahan radikal atas sikapnya. Bagaimana yang dulunya suka kekerasan menjadi lebih lembut, Â yang arogan menjadi lebih tenang dan rendah hati. Penjara itu idealnya seperti itu, bukan malah maling ayam jadi maling rumah mewah karena mendapatkan teman dan guru. Â Ini juga perubahan, namun ke arah negatif yang lebih parah.
Sikap bertanggung jawab. Pertanggungjawaban atas perilaku yang dinilai publik buruk. Belum tentu bahwa ia memang buruk secara hakiki, namun ketika peradilan sebagai representasi publik menyatakan itu salah, ya ikuti, bukan malah merasa diperlakukan secara tidak adil.Â
Memang ini dunia tidak akan bisa adil sebagaimana dharapkan. Menemukan banyak pembelaan dan bukti, namun ketika persidangan menyatakan lain, ya taati, dan itulah kualitas.
Sangat berbeda dengan pelaku-pelaku lain, baik yang sudah divonis, tersangka, ataupun terdakwa, di mana banyak alasan dan fakta, toh masih berupaya mengingkari itu. mencari-cari kesalahan orang lain, bahkan malah menuduh pemerintah dan perangkat sebagai pelaku ketidakadilan. Siapa mereka? Bisa dilihat sendiri, tidak perlu dijelaskan lebih panjang dan lebar lagi.
Pertobatan itu menatap ke depan. Masa lalu adalah bagian yang sudah lewat, bukan untuk diratapi, namun menjadi bahan evaluasi dan perbaikan ke depan agar makin baik dan lebih bijaksana. Ini menjadi penting sehingga hidup itu berjalan bukan hanya mengutuk pihak-pihak yang berseberangan.
Perubahan sudah diambil BTP dengan enggan menggunakan kebesaran masa lalunya. Namun perlu hati-hati, eforia pendukung garis kerasnya bisa menjadi batu sandungan yang tidak mudah ia hadapi, jika tidak hati-hati. Dukungan menjadi ini dan itu perlu dipertimbangkan baik buruknya bagi semua pihak. Bener tapi ora pener, benar tetapi tidak tepat bisa menjadi masalah.
Orang-orang geram dengan PSSI yang begitu-begitu saja. Harapan besar diberikan kepada BTP karena reputasinya dulu yang keras, tegas, dan tidak kenal kompromi. Baik rekam jejak memberikan bukti dan fakta, namun ingat di Jakarta pun perubahan yang dulunya diagung-agungkan, ketika jatuh toh diinjak-injak juga. Artinya, jangan sampai karena keinginan memperbaiki namun  malah menimbulkan masalah karena resistensi dari organisasi yang bobrok malah rugi semuanya.
Perubahan itu hanya sang waktu yang bisa memberikan jawaban dan bukti, dan ketika dorongan atas nama perbaikan, ingat ini juga bagus, baik, dan mulia, termasuk kejaksaan, KPK, BPK, dan lembaga lain, jangan malah menjadikan bumerang bagi berbagai pihak. Mengalah untuk menang yang sudah dicapai, jangan malah dinodai karena melihat kegelisahan yang lain yang belum tentu bisa diatasi sendirian. Malah menjadi masalah yang tidak elok.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H