Bagaimana mungkin isu-isu yang disebarkan itu bisa berpengaruh, tentunya mereka perlu terus menerus memberikan bahan yang baru. Satu kebohongan lahir, diriuh rendahkan, agak reda muncul yang baru, polemik tenang, datang kisah yang lain.
Sejatinya modelnya sama saja kog. Ada pernyataan yang lemah data, dinyatakan, kemudian para pendukungnya memberikan penguat pernyataan atau klarifikasi jika terlalu berat. Media masuk ke sana untuk menanyakan pihak rival apa tanggapannya. Itu terus yang terjadi. Pemilih malah jadi mual dengan pernyataan-pernyataan sesat namun riuh rendah itu.
Klarifikasi memang harus, namun tidak perlu sampai menghabiskan energi dan waktu yang tidak berguna. Jauh lebih penting adalah memberikan pembelajaran politik bagi warga dan pemilih agar cerdas di dalam memilih.
Memang akan lama dan butuh kontinutis, seperti juga kebohongan dan ketakutan itu juga terus menerus kog. Ini sebuah kampanye sunyi dan sepi, namun penting bagi keberadaan berbangsa dan bernegara.
Dua aktor utama kebohongan ada dan jelas, sampai bosan mengupasnya, ditambah perilaku partai Demokrat dengan beberapa elit yang ternyata haus kuasa itu mulai juga menjual kebohongan dan hoax. Pimisahan kelompok kog ya pas, di mana kubu yang satu suka kegembiraan, yang lain memilih ketakutan dengan kebohongan.
Kebohongan akan melahirkan kebohongan baru untuk membangun narasi bahwa itu bukan bohong. Mereka abai akan rekaman dan jejak digital yang demikian dalam menyimpan data dan fakta yang susah untuk disembunyikan dan dikelabui. Seolah maaf seperti orang berak saja. Selesai lega dan tidak peduli pencemaran bisa berbahaya.
Jelas terpapar, bagaimana kedua koalisi itu dibangun. Satu dengan harapan dan kegembiraan, dan sisi lain berhadapan dengan ketakutan dan penuh kebohongan. Mana bisa orang percaya dengan pemimpin yang memilih jalan menebar ketakutan dan memenuhi diri dengan kebohongan.
Mana bisa pribadi yang menakut-nakuti, memberikan kecemasan itu bisa bertanggung jawab untuk memberikan kedamaian. Mana bisa sekaligus terang dan gelap itu ada bersama-sama. Masak iya bangsa yang sudah mulai tampak cerah pagi hari harus dikembalikan kepada kegelapan dengan  penuh ketakutan dan kecemasan?
Apa iya bisa dipercaya, kalau kecemasan dan ketakutan itu diselesaikan oleh penebar ketakutan  itu langsung, sekejab, dan seperti sulapnya Pak Tarno, yang plok..plok. keluar kelinci lucu, padahal bedil di dahi masih menempel dan keringat masih mengucur? Ini bangsa, bukan panggung lenong. Masih ingat Orde Baru bukan? Keringat ketakutan itu mungkin sudah kering, namun apa iya kecemasan dalam hati sudah sirna? Yakin masih kuat, termasuk yang sekarang atau sejak dulu menerima kenikmatan. Toh takut juga salah bersikap dan ketendang, atau kebedil jidatnya.
Bapak yang biasa membentak anak akan menghasilkan anak bengal, pemberontak, atau penakut dan  skrupel, selalu takut berbuat kesalahan. Padahal salah itu bagian perkembangan manusia untuk maju, jika selalu takut salah tidak akan berbuat. Dua akibat ini sama buruknya. Pemberontak yang membuat rusuh demi eksistensi atau penurut yang serba takut yang tidak memiliki keberanian untuk apa saja.
Saatnya pemilih cerdas memilih harapan penuh kegembiraan atau malah mengekor pada ketakutan dan kecemasan yang sengaja diciptakan?