Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Kegembiraan Vs Politik Kebohongan dan Ketakutan ala Kedua Koalisi

13 Januari 2019   10:30 Diperbarui: 13 Januari 2019   10:34 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu makin dekat, kedua koalisi sebagai motor penggerak utama Pemilu menampilkan dua wajah kontras. Mengapa hanya fokus pada kedua ketua umum partai politik saja? Toh partai lainnya hanya menjadi pengikut bahkan seolah penggembira dari kedua partai politik ini. PDI-Perjuangan dan Gerindra yang mendominasi corak, warna, dan tipe politik akhir-akhir ini.

Partai lain seolah diam seribu bahasa, tenggelam, atau hanya menyuarakan apa yang menjadi pola utama dari partai politik pengusung, sebagai pendukung jelas tahu dirilah, maunya apa si boss. Apalagi jika kardus beneran bicara, sudah tidak memiliki kuasa apapun untuk memberikan warna kecil sekalipun.

Baru-baru ini, Ketua Umum PDI-Perjuangan sebagai pengusung Jokowi Widodo-KH. Ma'ruf Amin memberikan perintah harian kepada kader dan jajarannya, salah satu poin yang sangat penting dan krusial mengenai tampilkan politik yang oenuh kegembiraan. Ini menjadi penting, di mana beberapa saat terkahir khususnya dan epat tahun terakhir khususnya, kita dipenuhi dengan politik kecemasan dan ketakutan.

Salah satu faktor pemicu maraknya politik dikotomis ini adalah, ketidaksiapan menang ataupun kalah. Miris sebenarnya, ketika bermain dalam ranah politik, namun hanya fokus atas kemenangan, dan takut kalah. Ini bukan medan perang atau arena laga sabung ayam. Kalah menang dalam politik itu sangat biasa.

Salah satu menang dan satu pasti akan kalah. Nah bagaimana jika ada yang tidak mau dan tidak siap kalah. Akhirnya malah model fasisme yang ada, membenarkan segala cara demi mendapatkan kemenangan. Kondisi ini yang menyebabkan perpolitikan menjaid gerah, panas, dan permusuhan seolah tiada akhir. Kamret vs cebong seolah adalah abadi, padahal hanya lima tahun selesai dan ganti, eh perseteruan dengan berbagai varian dan model tercipta. Miris sebenarnya.

Wajah kegembiraan, pesta demokrasi, dan satu bangsa yang demokratis itu terkikis karena segelintir orang yang tidak mau kalah itu menggunakan corong media sosial yang baik itu demi kepentingannya. Menciptakan akun abal-abal, kloningan yang masif untuk menyebar dan menebar kebencian, permusuhan, fitnah, dan juga tidak kalah maraknya kebohongan.

Kesadaran bahwa politik, demokrasi, dan termasuk bermain dalam kancah politik itu ada yang namanya periodisasi, jadi ketika kalah ataupun menang ya hanya itu, terbatas, akan berganti. Mengapa harus sewot menunggu di tikungan untuk menelikung. Lihat pola itu yang menguat empat tahun terakhir.

Kalah akan Punah, benarkah ini penyemangat untuk kadernya? Ah jelas susah diterima akal sehat. Kecuali bagi kanak-kanak dan ibu atau bapak tradisional enggan kerja keras dalam menasihati anak. Hantu, gendruwo, dan menakut-nakuti menjadi gaya di dalam menerapkan pemaksaan kehendak di dalam keluarga. Hayo dilaporkan pak guru, ada polisi atau tentara, dan sejenisnya membuat anak bukannya disiplin  namun ketakutan.

Pengerahan massa kalau ada perbedaan pendapat. Susah juga maju jika model premanisme jalanan itu yang menjadi kebiasaan. Benar bahwa memang demontrasi atau mogok itu sah, namun bukan menjadi satu-satunya cara dan jalan. Itu adalah alternatifakhir jika keadaan atau cara lain sudah mentok dan tidak lagi dijadikan jaminan memberikan jalan keluar.

Demonstrasi damai sekalipun tetap ada kekhawatiran, kecemasan, dan perasaan was-was yang timbul. Apalagi sampai anarkhi, sweeping, dan perilaku ugal-ugalan lain yang tidak terkendali. Belum lagi ketakutan dan was-was yang mendalam, seperti trauma, khawatir yang tidak mendasar, dan itu tujuan yang dipakai oleh politikus penebar ketakutan.

Ketakutan pun dibangun dengan data abal-abal yang memang akan demikian. Jika merujuk data asli mana ada ketakutan, yang nampak jelas harapan dan kegembiraan. Data yang dipakai sudah disulap sehingga persepsi massa terganggu.

Bagaimana mungkin isu-isu yang disebarkan itu bisa berpengaruh, tentunya mereka perlu terus menerus memberikan bahan yang baru. Satu kebohongan lahir, diriuh rendahkan, agak reda muncul yang baru, polemik tenang, datang kisah yang lain.

Sejatinya modelnya sama saja kog. Ada pernyataan yang lemah data, dinyatakan, kemudian para pendukungnya memberikan penguat pernyataan atau klarifikasi jika terlalu berat. Media masuk ke sana untuk menanyakan pihak rival apa tanggapannya. Itu terus yang terjadi. Pemilih malah jadi mual dengan pernyataan-pernyataan sesat namun riuh rendah itu.

Klarifikasi memang harus, namun tidak perlu sampai menghabiskan energi dan waktu yang tidak berguna. Jauh lebih penting adalah memberikan pembelajaran politik bagi warga dan pemilih agar cerdas di dalam memilih.

Memang akan lama dan butuh kontinutis, seperti juga kebohongan dan ketakutan itu juga terus menerus kog. Ini sebuah kampanye sunyi dan sepi, namun penting bagi keberadaan berbangsa dan bernegara.

Dua aktor utama kebohongan ada dan jelas, sampai bosan mengupasnya, ditambah perilaku partai Demokrat dengan beberapa elit yang ternyata haus kuasa itu mulai juga menjual kebohongan dan hoax. Pimisahan kelompok kog ya pas, di mana kubu yang satu suka kegembiraan, yang lain memilih ketakutan dengan kebohongan.

Kebohongan akan melahirkan kebohongan baru untuk membangun narasi bahwa itu bukan bohong. Mereka abai akan rekaman dan jejak digital yang demikian dalam menyimpan data dan fakta yang susah untuk disembunyikan dan dikelabui. Seolah maaf seperti orang berak saja. Selesai lega dan tidak peduli pencemaran bisa berbahaya.

Jelas terpapar, bagaimana kedua koalisi itu dibangun. Satu dengan harapan dan kegembiraan, dan sisi lain berhadapan dengan ketakutan dan penuh kebohongan. Mana bisa orang percaya dengan pemimpin yang memilih jalan menebar ketakutan dan memenuhi diri dengan kebohongan.

Mana bisa pribadi yang menakut-nakuti, memberikan kecemasan itu bisa bertanggung jawab untuk memberikan kedamaian. Mana bisa sekaligus terang dan gelap itu ada bersama-sama. Masak iya bangsa yang sudah mulai tampak cerah pagi hari harus dikembalikan kepada kegelapan dengan  penuh ketakutan dan kecemasan?

Apa iya bisa dipercaya, kalau kecemasan dan ketakutan itu diselesaikan oleh penebar ketakutan  itu langsung, sekejab, dan seperti sulapnya Pak Tarno, yang plok..plok. keluar kelinci lucu, padahal bedil di dahi masih menempel dan keringat masih mengucur? Ini bangsa, bukan panggung lenong. Masih ingat Orde Baru bukan? Keringat ketakutan itu mungkin sudah kering, namun apa iya kecemasan dalam hati sudah sirna? Yakin masih kuat, termasuk yang sekarang atau sejak dulu menerima kenikmatan. Toh takut juga salah bersikap dan ketendang, atau kebedil jidatnya.

Bapak yang biasa membentak anak akan menghasilkan anak bengal, pemberontak, atau penakut dan  skrupel, selalu takut berbuat kesalahan. Padahal salah itu bagian perkembangan manusia untuk maju, jika selalu takut salah tidak akan berbuat. Dua akibat ini sama buruknya. Pemberontak yang membuat rusuh demi eksistensi atau penurut yang serba takut yang tidak memiliki keberanian untuk apa saja.

Saatnya pemilih cerdas memilih harapan penuh kegembiraan atau malah mengekor pada ketakutan dan kecemasan yang sengaja diciptakan?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun