Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Natalan Prabowo, Kisah Ahok, dan Herbertus Joko Widodo

28 Desember 2018   05:00 Diperbarui: 28 Desember 2018   06:48 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sajian politik identitas ugal-ugalan ala 2014 , terulang di pilkada DKI 2017, dan untung kisah yang cukup berbeda dilakukan kubu yang biasa memainkan politik identitas. Jadi tidak akan begitu ramai dana heboh. Lha jelas lah kan tukang hebohnya yang ada di garis yang sama.

Hal yang cukup memprihatinkan sebenarnya, di mana identitas sektarian menjadi senjata andalan untuk memojokan lawan, dan mendulang simpati untuk kelompoknya sendiri. Sedihnya lagi, malah makin ke sini, hal itu seolah makin kentara, padahal dulu-dulu hal tersebut jarang. Politikus tidak siap menang dan kebersamaan dengan beberapa kelompok yang terhambat kepentingannya membuat kondisi makin tidak mudah.

Natalan Prabowo
Hal yang sejatinya lumrah, biasa saja, dan bukan hal yang aneh, apalagi ini negara Pancasila. Apalagi jika yang dihadiri itu semata seremoni, upacara bukan ibadah, atau liturgi Natal. Kan selama ini dipahami kalau Prabowo adalah Muslim, yang tentunya tidak patut jika datang dalam ibadah Natal.

Masalahnya itu, coba yang melakukan itu Joko Widodo, akan seperti apa reaksi yang diberikan, djadikan bahan gorengan dan keriuhan di media. Semua corong akan membesarkan itu seolah dunia akan runtuh saja.  Langsung seluruh elit berkomentar dan menggoreng untuk mendapatkan durian runtuh bagi mereka.

Apakah ini spekulasi berlebihan? Jelas tidak, ini berkaitan dengan reputasi masa lalu, dan rekam jejak kebiasaan mereka. Bagaimana mereka menggunakan kejadian Ratna Sarumpaet yang langsung saja menuduh pemerintah.  Padahal jelas tidak ada kaitan sama sekali.

Demikian juga banyak pengalaman memberikan bukti di mana mereka akan bereaksi berlebihan ketika ada potensi mendulang suara, padahal jauh dari kebenarannya. Lebih dari satu kasus dan peristiwa, jika dideret malah tidak akan jadi artikel yang lebih komprehensif.

Kisah Ahok
Di luar temperamen dan cara berkomunikasi Ahok yang memprihatinkan, toh ada unsur di mana politik identitas itu demikian jelas. Pemicu kisah berkepanjanga hingga demo berjilid itu adalah ungkapan Ahok berkaitan dengan ayat yang dipenggal sehingga esensinya berbeda sangat jauh dari  apa yang dikehendaki yang mengatakan. Itu sudah selesai dan usai karena Ahok pun menerima konsekuensi atas itu dengan di penjara dua tahun.

Ada juga kata seorang pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, di mana kepemimpinan itu berkaitan dengan di mana dominan atau kelompok terbesar yang layak menjadi pemimpin di Indonesia. Hal yang sejatinya mengingkari Pancasila, dan yang menyatakan melalui televisi itu kini ada di posisi yang sama dengan Prabowo.

Apalagi jika mengingat gaya kampanye pilkada DKI 2017, ayat, mayat, dan kadang aurat menjadi seolah adalah segalanya. Jargon-jargon sektarian sangat masif dan tidak malu menjadi ujaran yang sangat biasa, apa iya agama kog berlaku demikian? Menurut hemat saya kog tidak. Agama itu esensinya mengajarkan kedamaian, kesatuan, dan cinta satu sama lain.

Herbertus Joko Widodo
Entah mengapa ini bisa timbul, padahal tidak ada dalam Gereja Katolik, nama baptis demikian. Heribertus ada, atau Humbertus, entah nyomot dari mana pembuat berita palsu itu mengambil nama Herbertus. Perlu belajar lagi membuat kepalsuan yang lebih baik tampaknya. Namanya juga politik dan kampanye.

Belum lagi soal ucapan Al Fatihah yang kemudian dijadikan bahan untuk mempertanyakan kadar keimanan Jokowi. Disusul saat ikut menyanyikan sebuah lagu religi. Apakah ketepatan pelafalan sesuatu itu berdampak pada iman dan kualitas beragamanya? Jelas saja banyak pengaruh yang tidak serta merta karena satu poin kemudian menjadi bahan yang berlebihan.

Ada juga tokoh besar keagamaan di Indonesia yang mengamat-amati, bacaan, sikap ketika Jokowi menjadi pemimpin shalat, malah menjadi pertanyaan, bagaimana niatnya itu ibadah atau malah menguji cara shalat seorang Jokowi, belum lagi sifat dari khusyuknya shalat? Toh semua memang harus terjadi.

Sejatinya, mau Natalan, atau Ahok jadi pemimpin atau tidak, Jokowi itu asli Islam atau campuran sepanjang masih dalam koridor Pancasila toh tidak masalah. Semuanya juga masih dalam naungan Pancasila, semua beragama, Islam, Kristen, atau Katolik yang diklaimkan itu. Semua tidak ada yang melanggar dasar negara bukan?

Jauh lebih mengerikan itu justru pemanfaatkan agama dalam politik. Perilaku diskriminatif, manipulasi demi kekuasaan atas nama agama, dan munafik terhadap agamanya sendiri demi kekuasaan. Ada pula standar ganda, atau munafik kalau kelompoknya boleh, sedangkan rival tidak boleh.

Diskriminatif. Apa sih salahnya kalau orang apapun agamanya memimpin negeri ini, kemampuan di dalam mengelola negara, kehendak baik di dalam mengatasi masalah bangsa, dan itu tidak berkaitan dengan agama seseorang. Memang agama bisa menentukan, namun sama sekali tidak menjadi pedoman dan ukuran jika perilaku beragama masih seperti ini.

Lihat saja bagaimana mendadak  religius, mengutip ayat-ayat suci dengan fasih kala terjerat kasus terumata korupsi. Ini jauh lebih mengerikan daripada mempersoalkan agama bagi calon pemimpin. Benar bahwa pemimpin itu juga harus beragama, namun jangan lupa, amalan agama itu melarang maling dan berperilaku tidak adil bukan?

Manipulasi agama demi politik. Hal yang sangat jamak terjadi. Dalam buku  Satu Tuhan Seribu Tafsir, dikatakan Perda Syariah cenderung hanya menjadi penarik massa. Soal implementasi di lapangan susah untuk diyakini telah dilakukan dengan semestinya. Artinya, hal ini telah mereduksi kesucian agama. Belum lagi ketika malah menggunakan agama dan tameng ayat suci demi kekuasaan semata.

Agama memang sangat murah dan efektif di dalam memberikan efek ketakutan bagi massa, apalagi bangsa ini. Mirisnya akhir-akhir ini jauh lebih kuat model penggunaan agama untuk mengarahkan pemilih. Menciptakan tawaran murah surga seharga Rp.5 juta, atau menyatakan memilih si A adalah neraka.

Apakah ini yang namanya orang beragama dan negara beragama? Jika semua maunya berdasar agama, namun perilakunya jauh dari tuntunan agama?

Munafik atas agamanya sendiri. Tidak ada yang salah jika Prabowo itu Kristen, namun ketika ia bisa ke mana-mana, apa iya model demikian itu bisa diyakini akan membawa perubahan, sedang pilihan mendasar saja bisa kacau balau demikian. Toh jika memang ia Muslim, tidak menjadi persoalan, asal bukan menjadi manusia yang hanya mau enaknya saja di dalam hidupnya ini. Ke sana  oke, di sini juga baik-baik saja.

Agama itu harus menjadi pedoman hidup orang sehingga pribadi tersebut bisa pasrah, iklas, dan mengenal rencana dari Yang Lebih Besar. Pemaksaan kehendak, merasa diri paling benar, merasa tidak pernah salah, orang lain sebagai sumber kekalahan, hanya akan menjadi tanpa bahwa agama dan imannya itu lemah.

Bagaimana bisa menjadi pimpinan negara, ketika memilih agama saja gamang. Memangnya harus menjadi presiden, bahkan dengan mengorbankan agama dan keyakinan? Ini saja jelas sangat memalukan. Perlu belajar dari Adam pengalaman mendasar itu rupanya. Toh semua agama besar dunia identik mengenai kisah Adam.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun