Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Koalisi 02 dan Lingkaran Masalah

21 Desember 2018   05:00 Diperbarui: 21 Desember 2018   09:52 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu elit koalisi 02, Fadli Zon menampilkan wajah cukup unik, di mana membolak-balik fakta sesuai kepentingan. Kisah cukup panjang dan masih akan panjang. Mewakili, entah kelucuan atau keculunan, di mana Ratna Sarumpaet yang operasi plastik eh malah bersikukuh dihajar oleh orang tak dikenal. Kekerasan yang menimpa nenek-nenek oleh pemerintah, penguasa yang  ketakutan, dan seterusnya.

Eh ketika benar ada kekerasan pada anak-anak, malah dibela mati-matian, dan narasi yang sama dibangun, pemerintah otoriter, karena memproses pelaku kekerasan itu, yang kebetulan didahului dengan mencaci maki presiden. Elit lain menyatakan bahwa itu bukan kekerasan, hanya membela diri, meskipun jelas omong kosong yang sangat tidak berdasar.

Apa yang ditampilkan ini sebenarnya hanya sebuah fakta bahwa mereka memang memilih membangun konsep oposisi waton sulaya. Di mana yang dibangun pemerintah pasti salah, Jokowi pasti keliru, dan mereka sebagai jalan keluar dan benar. Tetapi sama sekali tidak pernh terdengar apa yang mereka tawarkan sebagai sebuah alternatif solusi atau jalan keluar.

Bagaimana bisa membela korban kekerasan namun pada saat yang sama berpihak pada pelaku kekerasan. Padahal sama-sama belum jelas kebenarannya. Jauh lebih bijak adalah menunggu proses kepolisian sehingga tidak gegabah. Lagi-lagi kepemimpinan grusa-grusu lebih mengemuka.

Pribadi lain, Natlius Pigai menyatakan, Jokowi satu-satunya presiden memperoleh raport merah, konteks kekerasan. Hal yang sangat lucu dan lagi aneh, di mana bahwa pemerintaha Soeharto jauh lebih berlumuran darah dengan peradilan yang tidak jelas. Bagaimana kisah suram 65 dan isu-isu lain. Sangat tidak sebanding dengan apa yang dilakukan Jokowi jika benar, bagaimana bisa 32 tahun represi bisa lebih baik dari empat tahun masa terbuka seperti ini? Ada unsur memaksakan konteks yang berbeda. Dan lagi-lagi ada posisi koalisi 02.

Berkaitan dengan Orde Baru, di mana ada pihak-pihak yang merasa baik-baik saja, malah ada politikus gagal yang menjadikan Soeharto bak super hero, dengan jargon enak zamanku to? Toh juga malah membuat politikus itu hancur lebur. Itu kisah 2014, di mana ada yang ingin mendulang suara namun malah membuang suara.

Kini, periode ini, anak-anak manja itu memainkan peran secara langsung. Mereka berbondong-bondong masuk ke permainan politik praktis. Tidak hanya mengandalkan tangan kanan atau kepanjangan tangan. Jelas sudah mengatakan mereka akan menghidupkan lagi Orde Baru. Ingat menghidupkan Orde Baru.

Perlu dilihat ke belakang, mengapa Orde Baru itu ditumbangkan pada tahun '98. Jika baik-baik saja seperti gambaran dan wacana Titiek Soeharto, berarti mahasiswa  eksponen 98 dan tokoh reformasi waktu itu salah. Perlu dilihat lebih lagi dan perlu diingat kembali agar generasi ini tidak dikelabui dengan narasi-narasi amburadul politikus yang memiliki gaya bandit demokrasi itu.

Beberapa hal sebagai dasar penggulingan Soeharto adalah KKN. Pertama jelas korupsi yang merajalela. Memang berbeda dengan kini, yang semua lini bisa melakukan  korupsi. Bandit dempokrasi yang berbeda dengan masa Orde Baru, di mana bandit itu terpusat. Hanya kalangan tertentu yang bisa ngembat uang rakyat itu.

Kondisi bangsa saat ini memang belum sepenuhnya bersih dari korupsi, itu hanya utopia semata, jika berbicara korupsi hilang sama sekali. Namun kinerja KPK, polisi, dan kejaksaan sudah dalam rel yang tepat. Hanya masih perlu waktu dan lebih tegas. Jauh dari masa Orba yang merajalela dan tidak ada upaya untuk menguranginya.

Perilaku korup ini pun masih pengaruh dari masa itu yang demikian rakusnya makan apa saja. Dan banyak yang dulu terpaksa mengencangkan ikat pinggang, kini aji mumpung dan melakukannya, berganti peran.

Kolusi, hari-hari ini banyak pemuda sedang giat mengikuti seleksi ASN. Rekrutmen terbuka dan menggunakan sarana teknologi informasi. Gelaran yang serentak dan hasilnya jelas terpampang dan terbuka. Jangan harap itu bisa pada era 80-an hingga 90-an. PNS, kuliah ikatan dinas, dan AKABRI, BUMN, jangan harap bisa leluasa seperti saat ini, semua orang bisa mendaftar dan kesempatan yang sama.

Memang berbicara soal uang tetap saja ada, namun perubahan dan adanya sarana-sarana untuk pengawasan jelas lebih transparan. Mosok yang seperti itu harus dikembalikan. Di mana hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk pada pusaran empuknya kue pembangunan.

Suap menyuap menjadi gejala dan kini pun masih cukup marak. Harapan dengan adanya kemajuan teknologi informasi menjadi  peluang menuju kebaikan yang dicita-citakan bersama.

Nepotisme,  identik sih dengan kolusi ini.  Namun nepotis itu jauh lebih sempit karena berkaitan dengan kerabat yang dprioritaskan. Sejatinya tidak ada yang salah kerabat menjadi apapun, karena sama dalam alam demokrasi, namun apakah kerabat itu memang mampu? Itu menjadi penting dan mendasar. Ternyata tidak begitu. Yang pinter tersingkir karena tidak memiliki koneksi.

Kebebasan berpendapat. Berbahagialah sekarang bisa berbuat apa saja atas nama kebebasan berpendapat. Sayang memang karena beberapa waktu ada pilihan di mana kebebasan itu bebas seolah tanpa aturan. Jadi orang bisa memfitnah, mencaci maki, dan mengatakan apapun seolah tidak ada aturan. Ini lagi-lagi akibat represi sekian lama. Euforia yang perlu diakhiri sehingga ada keseimbangan. Bebas tentu bertanggung jawab, bukan seenaknya sendiri.

Koran itu dulu ada yang namanya SIUPP. Menteri Penerangan seolah menjadi dewa pencabut nyawa bagi koran dan surat khabar yang berani bersuara lain. Tabloid Monitor, Sinar Harapan, Detik, Tempo, itu yang ada di Jakarta. Daerah menyumbangkan  Harian Nusantara dan Harian Mahasiswa Indonesia. Biasanya berkaitan dengan pemberitaan tentang kritikan Cendana dan reputasi Soeharto.

Kebebasan berserikat dan berkumpul. Jelas partai politik itu hanya tiga, dengan satu sok-sokan bukan partai, namun itu golongan. Ketiganya pun hanya kamuflase karena semua ada di tangan Soeharto. Golkar itu pasti jawara, PPP pasti nomor dua, dan PDI itu nomor tiga. Jangan harap  bisa menjadi anggota dewan tanpa direstui Soeharto,

Pimpinan atau ketua umum P3 dan PDI pun atas restu Soeharto. Cukup bandel PDI yang pernah dimenangkan oleh Megawati dalam pemilihan toh digulingkan juga. Memang parpol pun sekarang belum memberikan andil positif lebih jauh, namun lebih baik daripada kekuasaan pada satu tangan saja. Mengembalikan ke Orde Baru sama juga mengembalikan kepada Kerajaan Bina Graha.

Apalagi mau ada serikat buruh yang beraneka macam  itu, berani demo istana lagi. Mana bisa era dulu, mosok itu mau dipakai lagi, yakin mau hidup dalam kendali satu orang dan masyarakat hanya menjadi manusia seolah-olah?

Salah satu anak orang kuat Orde Baru juga pelaku kriminal, karena membunuh seorang hakim agung karena berani memvonisnya bersalah melakukan korupsi. Dan kini orang itu menjadi ketua umum partai. Bagaimana reputasi demikian, semakin dekat pada kekuasaan? Apa tidak mengerikan. Seorang hakim agung saja meninggal, apalagi jika rakyat biasa.

Koalisi ini memang penuh dengan masalah dan orang ternyata sudah memiliki kecenderungan, yang bermasalah kumpul dengan orang bermasalah juga. Dalam sebuah ayat Kitab Suci dikatakan bahwa kambing dan domba akan dipisahkan oleh Sang Gembala. Ternyata memang terjadi demikian dengan sendirinya. Ini rupanya yang namanya hukum alam.

Apa iya mau mempercayakan bangsa dan negara ini pada koalisi demikian? Orang-orang bermasalah dan potensial bermasalah.

Terima kasih dan salam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun