Salah satu elit koalisi 02, Fadli Zon menampilkan wajah cukup unik, di mana membolak-balik fakta sesuai kepentingan. Kisah cukup panjang dan masih akan panjang. Mewakili, entah kelucuan atau keculunan, di mana Ratna Sarumpaet yang operasi plastik eh malah bersikukuh dihajar oleh orang tak dikenal. Kekerasan yang menimpa nenek-nenek oleh pemerintah, penguasa yang  ketakutan, dan seterusnya.
Eh ketika benar ada kekerasan pada anak-anak, malah dibela mati-matian, dan narasi yang sama dibangun, pemerintah otoriter, karena memproses pelaku kekerasan itu, yang kebetulan didahului dengan mencaci maki presiden. Elit lain menyatakan bahwa itu bukan kekerasan, hanya membela diri, meskipun jelas omong kosong yang sangat tidak berdasar.
Apa yang ditampilkan ini sebenarnya hanya sebuah fakta bahwa mereka memang memilih membangun konsep oposisi waton sulaya. Di mana yang dibangun pemerintah pasti salah, Jokowi pasti keliru, dan mereka sebagai jalan keluar dan benar. Tetapi sama sekali tidak pernh terdengar apa yang mereka tawarkan sebagai sebuah alternatif solusi atau jalan keluar.
Bagaimana bisa membela korban kekerasan namun pada saat yang sama berpihak pada pelaku kekerasan. Padahal sama-sama belum jelas kebenarannya. Jauh lebih bijak adalah menunggu proses kepolisian sehingga tidak gegabah. Lagi-lagi kepemimpinan grusa-grusu lebih mengemuka.
Pribadi lain, Natlius Pigai menyatakan, Jokowi satu-satunya presiden memperoleh raport merah, konteks kekerasan. Hal yang sangat lucu dan lagi aneh, di mana bahwa pemerintaha Soeharto jauh lebih berlumuran darah dengan peradilan yang tidak jelas. Bagaimana kisah suram 65 dan isu-isu lain. Sangat tidak sebanding dengan apa yang dilakukan Jokowi jika benar, bagaimana bisa 32 tahun represi bisa lebih baik dari empat tahun masa terbuka seperti ini? Ada unsur memaksakan konteks yang berbeda. Dan lagi-lagi ada posisi koalisi 02.
Berkaitan dengan Orde Baru, di mana ada pihak-pihak yang merasa baik-baik saja, malah ada politikus gagal yang menjadikan Soeharto bak super hero, dengan jargon enak zamanku to? Toh juga malah membuat politikus itu hancur lebur. Itu kisah 2014, di mana ada yang ingin mendulang suara namun malah membuang suara.
Kini, periode ini, anak-anak manja itu memainkan peran secara langsung. Mereka berbondong-bondong masuk ke permainan politik praktis. Tidak hanya mengandalkan tangan kanan atau kepanjangan tangan. Jelas sudah mengatakan mereka akan menghidupkan lagi Orde Baru. Ingat menghidupkan Orde Baru.
Perlu dilihat ke belakang, mengapa Orde Baru itu ditumbangkan pada tahun '98. Jika baik-baik saja seperti gambaran dan wacana Titiek Soeharto, berarti mahasiswa eksponen 98 dan tokoh reformasi waktu itu salah. Perlu dilihat lebih lagi dan perlu diingat kembali agar generasi ini tidak dikelabui dengan narasi-narasi amburadul politikus yang memiliki gaya bandit demokrasi itu.
Beberapa hal sebagai dasar penggulingan Soeharto adalah KKN. Pertama jelas korupsi yang merajalela. Memang berbeda dengan kini, yang semua lini bisa melakukan  korupsi. Bandit dempokrasi yang berbeda dengan masa Orde Baru, di mana bandit itu terpusat. Hanya kalangan tertentu yang bisa ngembat uang rakyat itu.
Kondisi bangsa saat ini memang belum sepenuhnya bersih dari korupsi, itu hanya utopia semata, jika berbicara korupsi hilang sama sekali. Namun kinerja KPK, polisi, dan kejaksaan sudah dalam rel yang tepat. Hanya masih perlu waktu dan lebih tegas. Jauh dari masa Orba yang merajalela dan tidak ada upaya untuk menguranginya.
Perilaku korup ini pun masih pengaruh dari masa itu yang demikian rakusnya makan apa saja. Dan banyak yang dulu terpaksa mengencangkan ikat pinggang, kini aji mumpung dan melakukannya, berganti peran.