Kolusi, hari-hari ini banyak pemuda sedang giat mengikuti seleksi ASN. Rekrutmen terbuka dan menggunakan sarana teknologi informasi. Gelaran yang serentak dan hasilnya jelas terpampang dan terbuka. Jangan harap itu bisa pada era 80-an hingga 90-an. PNS, kuliah ikatan dinas, dan AKABRI, BUMN, jangan harap bisa leluasa seperti saat ini, semua orang bisa mendaftar dan kesempatan yang sama.
Memang berbicara soal uang tetap saja ada, namun perubahan dan adanya sarana-sarana untuk pengawasan jelas lebih transparan. Mosok yang seperti itu harus dikembalikan. Di mana hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk pada pusaran empuknya kue pembangunan.
Suap menyuap menjadi gejala dan kini pun masih cukup marak. Harapan dengan adanya kemajuan teknologi informasi menjadi  peluang menuju kebaikan yang dicita-citakan bersama.
Nepotisme, identik sih dengan kolusi ini.  Namun nepotis itu jauh lebih sempit karena berkaitan dengan kerabat yang dprioritaskan. Sejatinya tidak ada yang salah kerabat menjadi apapun, karena sama dalam alam demokrasi, namun apakah kerabat itu memang mampu? Itu menjadi penting dan mendasar. Ternyata tidak begitu. Yang pinter tersingkir karena tidak memiliki koneksi.
Kebebasan berpendapat. Berbahagialah sekarang bisa berbuat apa saja atas nama kebebasan berpendapat. Sayang memang karena beberapa waktu ada pilihan di mana kebebasan itu bebas seolah tanpa aturan. Jadi orang bisa memfitnah, mencaci maki, dan mengatakan apapun seolah tidak ada aturan. Ini lagi-lagi akibat represi sekian lama. Euforia yang perlu diakhiri sehingga ada keseimbangan. Bebas tentu bertanggung jawab, bukan seenaknya sendiri.
Koran itu dulu ada yang namanya SIUPP. Menteri Penerangan seolah menjadi dewa pencabut nyawa bagi koran dan surat khabar yang berani bersuara lain. Tabloid Monitor, Sinar Harapan, Detik, Tempo, itu yang ada di Jakarta. Daerah menyumbangkan  Harian Nusantara dan Harian Mahasiswa Indonesia. Biasanya berkaitan dengan pemberitaan tentang kritikan Cendana dan reputasi Soeharto.
Kebebasan berserikat dan berkumpul. Jelas partai politik itu hanya tiga, dengan satu sok-sokan bukan partai, namun itu golongan. Ketiganya pun hanya kamuflase karena semua ada di tangan Soeharto. Golkar itu pasti jawara, PPP pasti nomor dua, dan PDI itu nomor tiga. Jangan harap  bisa menjadi anggota dewan tanpa direstui Soeharto,
Pimpinan atau ketua umum P3 dan PDI pun atas restu Soeharto. Cukup bandel PDI yang pernah dimenangkan oleh Megawati dalam pemilihan toh digulingkan juga. Memang parpol pun sekarang belum memberikan andil positif lebih jauh, namun lebih baik daripada kekuasaan pada satu tangan saja. Mengembalikan ke Orde Baru sama juga mengembalikan kepada Kerajaan Bina Graha.
Apalagi mau ada serikat buruh yang beraneka macam  itu, berani demo istana lagi. Mana bisa era dulu, mosok itu mau dipakai lagi, yakin mau hidup dalam kendali satu orang dan masyarakat hanya menjadi manusia seolah-olah?
Salah satu anak orang kuat Orde Baru juga pelaku kriminal, karena membunuh seorang hakim agung karena berani memvonisnya bersalah melakukan korupsi. Dan kini orang itu menjadi ketua umum partai. Bagaimana reputasi demikian, semakin dekat pada kekuasaan? Apa tidak mengerikan. Seorang hakim agung saja meninggal, apalagi jika rakyat biasa.
Koalisi ini memang penuh dengan masalah dan orang ternyata sudah memiliki kecenderungan, yang bermasalah kumpul dengan orang bermasalah juga. Dalam sebuah ayat Kitab Suci dikatakan bahwa kambing dan domba akan dipisahkan oleh Sang Gembala. Ternyata memang terjadi demikian dengan sendirinya. Ini rupanya yang namanya hukum alam.