Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PSI dan Pilihan dengan Berani

18 Desember 2018   18:58 Diperbarui: 18 Desember 2018   19:00 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PSI  dan  ketua umumnya benar-benar cerdik di dalam memainkan emosi politis. Memilih tema-tema sensitif namun terukur dan bisa dimainkan dengan cantik. Kampanye belum lama, pengalaman belum banyak, namun sudah membuat kalang kabut politikus kawakan, dan merasa perilaku mereka meresahkan. Pilihan cerdas di tengah kinerja berat di antara pilpres dan pileg serempak.

Ada pro dan kontra soal gagasan itu biasa. Demokrasi sangat membuka peluang itu, apalagi masih coba-coba dan belajar berdemokrasi. Seni di dalam berpolitik itu ketika bisa membuat orang kerkesima, baik mau marah, atau simpati itu adalah langkah awal untuk bisa memberikan pengaruh kepada pihak lain.

Jangan sangka ketika orang itu marah, jengkel, dan menolak itu sebuah tanda tidak tertarik. Di sinilah seni berpolitik itu memainkan perannya. Ingat bahwa dalam politik tidak ada yang abadi bukan?

Paling tidak sudah ada tiga tema yang membuat orang kaget dan memandang mereka. Polemik yang ada itu tentu sudah dihitung dengan cermat. Orang politik tidak mungkin tidak melakukan kalkulasi berkaitan dengan pemilih.  Tokoh politik lama banyak yang mencibir, dan menilai  masa depan PSI itu suram. Partai nol koma hasil survey, dan itu dijawab dengan cerdas dalam memainkan isu dan gagasan baru mereka.

Pertama, mengenai penolakan perda berdasar agama. Hal yang sebenarnya sangat biasa. Bagaimana tidak, dasar negara adalah Pancasila, bukan agama paling banyak di daerah tersebut. Hal yang tidak bisa diributkan sebenarnya, kalau tidak karena orang mabuk agama. Jelas dasarnya adalah Pancasila.

Pancasila adalah "jembatan" dari agama-agama yang ada di Indonesia. Jadi bukan di atas atau saling meniadakan. Sepanjang sesuai Pancasila  akan pasti sesuai dengan Pancasila, pun sebaliknya, yang selaras dengan agama juga akan sejalan dengan Pancasila. Apanya coba yang diributkan?

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa perda berdasar agama hanya dipakai untuk menarik simpati dalam pemilu kepala daerah. Hal ini dinyatakan Abdul Munir Mulkan, kurang kepakaran agamanya apa coba. Dalam salah satu artikel yang dibukukan dalam Buku Satu Tuhan Seribu Tafsir, ia mengatakan perda-perda itu hanya untuk menarik pemilih.

Mulka menilai demikian, pun sebelumnya dalam Buku Ilusi Negara Islam, hal yang sama dinyatakan, dalam konteks yang berbeda, karena perda itu tidak sejalan dan seideal dalam hitam di atas putih. Dalam perjalananya, banyak ditemui  kejadian di luar kendali.

Kedua, larangan kader untuk berpoligami. Ingat ini dikatakan untuk kasus khusus, pun bukan soal agama, karena toh dalam agama tertentu pun poligami juga kasus khusus. Mengapa jadi ribet dan repot menjadi seolah-olah ini urusan agama?

Toh tidak semua tokoh agama berpoligami, dan poligami juga tidak untuk semua kejadian. Ada syarat-syarat yang tidak serta merta bisa dipenuhi dengan begitu saja. Toh ASN pun ada larangan ini dan itu. Mengapa diribetkan dengan ditarik ke urusan agama?

Pro dan kontra yang justru menguntungkan PSI, ingat banyak pihak suka dibicarakan yang buruk, ini netral secara moral, tidak ada kebaikan ataupun keburukannya. Jika ada di antara baik dan buruknya pun akhirnya setimbang.

Ketiga, siap tidak digaji jika menjadi anggota dewan dan kinerjanya buruk. Cukup menarik, ini menjawab kata Fadli Zon yang minta dimaklumi jika jeblok kinerja mereka. Langsung reaksi mereka yang lain riuh rendah. Kelihatan bagaimana kualitas mereka. Ada yang bertanya bagaimana keluarga makan, ada yang meledek mentang-mentang belum masuk parlemen dan sebagainya.

Apa yang mereka sampaikan bagus. Menohok bahwa dewan memang level pemalas yang tidak tahu diri. Bagaimana di luar gedung dewan, jika kinerja buruk tidak akan mendapat bayaran, bahkan bisa dipecat. Lha dewan ini sudah maling, ditangkap, disidang, divonis, karena belum ketetapan tetap, ingat mereka biasanya banding hingga PK, mereka di dalam penjara, menerima gaji. Maling memang mereka ini.

Jika ada yang mengatakan mau makan apa keluarganya, kelihatan bahwa anggota dewan itu pekerjaan, bukan pengabdian. Pantes orientasi mereka gaji dan tunjangan. Jika mereka mengabdi gaji itu adalah bonus, konsekuensi atas kinerja. Bukan malah dibalik gaji dulu baru kerja. Mentalnya memang masih level budak.

PSI memang masih sebatas wacana. Mereka belum memiliki rekam jejak, dan patut ditunggu. Keberadaan kaum muda sebagai punggawa cukup memberikan jaminan bisa idealis, pilihan mereka di dalam menjawa isu dan perisiwa juga memberikan gambaran adanya harapan baik ke depannya.

Keberadaan kader yang tidak tersentuh masa lalu bisa menjadi harapan makin besar. Memang tidak jaminan, karena hasil 98 pun banyak yang mlendek, dan masuk bui karena korupsi. Namun lingkungan yang seide dan berkomitmen bersih bisa menjadi pembeda.

Perbaikan dan perubahan itu perlu diawali. Dan waktunya kali ini.

Terima kasih dan salam

Ilusi Negara Islam

Satu Tuhan Seribu Tafsir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun