PSI  dan  ketua umumnya benar-benar cerdik di dalam memainkan emosi politis. Memilih tema-tema sensitif namun terukur dan bisa dimainkan dengan cantik. Kampanye belum lama, pengalaman belum banyak, namun sudah membuat kalang kabut politikus kawakan, dan merasa perilaku mereka meresahkan. Pilihan cerdas di tengah kinerja berat di antara pilpres dan pileg serempak.
Ada pro dan kontra soal gagasan itu biasa. Demokrasi sangat membuka peluang itu, apalagi masih coba-coba dan belajar berdemokrasi. Seni di dalam berpolitik itu ketika bisa membuat orang kerkesima, baik mau marah, atau simpati itu adalah langkah awal untuk bisa memberikan pengaruh kepada pihak lain.
Jangan sangka ketika orang itu marah, jengkel, dan menolak itu sebuah tanda tidak tertarik. Di sinilah seni berpolitik itu memainkan perannya. Ingat bahwa dalam politik tidak ada yang abadi bukan?
Paling tidak sudah ada tiga tema yang membuat orang kaget dan memandang mereka. Polemik yang ada itu tentu sudah dihitung dengan cermat. Orang politik tidak mungkin tidak melakukan kalkulasi berkaitan dengan pemilih.  Tokoh politik lama banyak yang mencibir, dan menilai  masa depan PSI itu suram. Partai nol koma hasil survey, dan itu dijawab dengan cerdas dalam memainkan isu dan gagasan baru mereka.
Pertama, mengenai penolakan perda berdasar agama. Hal yang sebenarnya sangat biasa. Bagaimana tidak, dasar negara adalah Pancasila, bukan agama paling banyak di daerah tersebut. Hal yang tidak bisa diributkan sebenarnya, kalau tidak karena orang mabuk agama. Jelas dasarnya adalah Pancasila.
Pancasila adalah "jembatan" dari agama-agama yang ada di Indonesia. Jadi bukan di atas atau saling meniadakan. Sepanjang sesuai Pancasila  akan pasti sesuai dengan Pancasila, pun sebaliknya, yang selaras dengan agama juga akan sejalan dengan Pancasila. Apanya coba yang diributkan?
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa perda berdasar agama hanya dipakai untuk menarik simpati dalam pemilu kepala daerah. Hal ini dinyatakan Abdul Munir Mulkan, kurang kepakaran agamanya apa coba. Dalam salah satu artikel yang dibukukan dalam Buku Satu Tuhan Seribu Tafsir, ia mengatakan perda-perda itu hanya untuk menarik pemilih.
Mulka menilai demikian, pun sebelumnya dalam Buku Ilusi Negara Islam, hal yang sama dinyatakan, dalam konteks yang berbeda, karena perda itu tidak sejalan dan seideal dalam hitam di atas putih. Dalam perjalananya, banyak ditemui  kejadian di luar kendali.
Kedua, larangan kader untuk berpoligami. Ingat ini dikatakan untuk kasus khusus, pun bukan soal agama, karena toh dalam agama tertentu pun poligami juga kasus khusus. Mengapa jadi ribet dan repot menjadi seolah-olah ini urusan agama?
Toh tidak semua tokoh agama berpoligami, dan poligami juga tidak untuk semua kejadian. Ada syarat-syarat yang tidak serta merta bisa dipenuhi dengan begitu saja. Toh ASN pun ada larangan ini dan itu. Mengapa diribetkan dengan ditarik ke urusan agama?
Pro dan kontra yang justru menguntungkan PSI, ingat banyak pihak suka dibicarakan yang buruk, ini netral secara moral, tidak ada kebaikan ataupun keburukannya. Jika ada di antara baik dan buruknya pun akhirnya setimbang.