Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Biarkan Jokowi Sendirian Memberantas Korupsi!

16 Desember 2018   17:00 Diperbarui: 16 Desember 2018   17:10 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa lembaga survei merilis hasil soal kepercayaan publik atau masyarakat, menempatkan salah satu yang tertinggi dipercaya adalah presiden dan lembaga kepresiden termasuk tentunya. Apapun lembaga survei memberikan data yang relatif sama. Bersama dengan KPK dan TNI (TNI ini masih perlu dilihat lagi), sisi sebaliknya, dewan dan parpol menjadi paling tidak dipercaya dan cenderung korup.

Salah satu tanggapan dari anggota dewan, elit parpol, mengatakan, sebenarnya dewan jauh dari anggaran, susah menerima jika dikatakan paling korup. Aneh, lucu, apa bloon orang ini  ketika mengaitkan korupsi hanya dengan anggaran. Bagaimana perilaku bobrok mereka dengan absensi penuh namun gedung kosong, kinerja jeblok dari banyakan RUU dan UU yang dihasilkan.  Korupsi bukan sekadar anggaran, atau besaran uang yang dimaling.

Tentu bukan dalam arti bahwa Jokowi sendirian, seorang diri, dan hanya dia yang berperan, namun bahwa lembaga-lembaga terkait, pribadi-pribadi yang ada itu jauh dari apa yang seharusnya mereka lakukan. Susah bagi mereka untuk berbuat atau mengatasi korupsi karena lebih banyak yang nyaman dengan perilaku jahat itu.

Masih banyak  orang baik, lembaga baik, dan kelompok peduli, namun sering kalah garang, kalah suara, kalah corong, dan memilih diam saja. Ini menjadi masalah krusial karena ketakutan atas perilaku tamak pihak lain yang sering malah lebih galak dan mengancam kehidupan dan mata pencaharian.

Sudah banyak lembaga negara yang diiobok-obok KPK dan mereka jelas melakukan perlawanan sengit. Mengatakan pengawasan internal kami berjalan bla...bla...bla, dan ketika di persidangan toh terbukti juga maling dan kong kalikong mereka. Kebanggaan akan korps sering salah, seperti orang tua yang memanjakan anak dan selalu memuji dan menertawakan anak meskipun berbuat salah. Bangga akan korps itu juga kalau salah diadakan perbaikan bukan malah berdalih benar.

Sering orang berteriak-teriak mengatakan revolusi mental malah makin kacau. Ingat ini baru empat tahun, sedangkan mereka yang pesta pora itu lebih dari empat dasa warsa. Masa Habibie hingga Megawati, biarlah, bukan menjadi bahan pertimbangan karena masa transisi dan masa penjajakan yang masih belum paham mau ke mana. Lima tahun lebih sedikit eforia tanpa makna, namun plus dua periode SBY itu penting.

Beberapa lembaga masih amburadul dan kacau soal korupsi, jelas peradilan. Mengapa survey tidak menempatkan lembaga ini pada posisi atas? Karena jarang orang per orang itu berhadapan langsung dengan peradilan. Apalagi hingga tingkat MA.

Kelucuan dan keanehan MA banyak sekali, ke mana kisah sekretaris kaya MA, Nurhadi? Belum lagi jika melihat dari yang paling bawah. Panitera pengganti yang memiliki taman wisata water boom hingga rumah sakit. Eh malah mendengar MA memberikan diskon akhir tahun bagi Nur Alam. Spesial akhir tahun untuk koruptor. Belum lagi kelucuan mereka di dalam melakukan penegakaan keadilan di Indonesia.

Ombudsman pernah menyatakan, di dalam peradilan di Indonesia, kerja sama itu justru ditawarkan oleh perangkat peradilan lebih dahulu, ironisnya lagi, pada pertemuan pertama. Mereka berinisiatif, mereka memulai, dan gilanya adalah pertemuan pertama sudah langsung memberikan  tawaran itu. Jauh lebih gila dari preman pasar yang masih melihat segala kemungkinan. Ini pun tidak ada tindak lanjut. Hanya omong kosong para hakim agung itu bicara ini dan itu, toh nyatanya sama saja.

Lebih susah lagi jika bicara korupsi dengan dewan. Mereka entah  sudah terlalu nyaman atau tidak mau tahu. Soal absensi itu korupsi paling mendasar, elementer, jika yang dasar, receh, remeh begitu saja tidak bisa, bagaimana bicara yang esensial soal isi  perundang-undangan. Absensi kosong namun gaji tetap diterima, ini kan nyolong, tidak bekerja kog menerima uang. Tengok karyawan atau buruh pabrik itu yang akan dipotong jika telat bukan saja tidak datang, hanya telat.

Soal absen ini receh, belum lagi isi perundang-undangan yang diperjualbelikan. Jauh lebih mengerikan daripada jawaban sekadar bukan pemegang anggaran. Ini pun masih bisa diperdebatkan saat pembicaraan anggaran ada penggelembungan, ada permintaan ini dan itu, dan sebagainya, ingat itu juga korup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun