Demokrat babak belum pemilu 2014, deraan korupsi elit mereka susah menyatakan sebagai perilaku oknum. Lingkaran utama mereka selalu terdengar dalam persidangan tipikor. Dibarengi oleh jargon mereka yang menggema, KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI, eh di waktu yang bersamaan, para bintang utama mereka itu satu demi satu antri masuk bui.
Nama Demokrat sejatinya jaminan akan wajah demokrasi yang sejati. Â Cukup menjanjikan adanya SBY, anak-anak muda, generasi 98-an yang menggawangi Demokrat, apa daya korupsi membuat generasi emas ini meredup dan layu sebelum berkembang maksimal.
Salah satu pilar demokrasi sudah roboh. Cukup menjanjikan adalah era Anas, Ruhut, itu Demokrat sangat santun, ini adalah nilai plus dari partai SBY ini. Semua kritik bahkan hinaan pun disikapi dengan santun. Para pembela Demokrat dan SBY seperti Didi, Ruhut, Andi M, Anas, Gede Pasek, membela dengan koridor baik, patut, dan terukur. Kesantunan itu masih ada. Tidak merusak kewibawaan Demokrat dan SBY.
Kini era berganti, banyak loyalis SBY yang kecewa dan kemudian beralih menjadi independen seperti Ruhut. Atau masuk partai lain seperti Pasek dan Hayono Isman. Sayang banyak yang bertahan jutru relatif maaf penjilat dan politikus cari aman. Cari aman dengan tidak mau berbuat apa-apa selain mengiyakan kata dan keputusan SBY. Model ini diwakili oleh Roy Suryo dan Syarif Hasan, Agus Hermanto. Politikus asal menjadi apapun dan di ketiak SBY aman. Demokrasi lagi-lagi lesap di tubuh Demokrat.
Usai pilkada Jakarta, dinamika sungguh berbeda. Ada tambahan tenaga baru, segar, menjanjikan sebenarnya dalam diri AHY. Entah mengapa malah SBY seolah masih "menyimpan" AHY untuk turun langsung dalam politik praktis sepenuhnya. EBY sudah tidak bisa diharapkan. Hanya segitusegitu saja.
Potensi AHY malah seolah dimentahkan, dipatahkan, dan dikungkung sendiri oleh SBY, belum lagi sekarang ini  malah corong utama dalam diri Andi Arief dan Ferdinan Hutahaen. Mereka berdua jauh dari kapasitas politik ala Anas atau Ruhut. Mereka lebih mengedepankan emosi dan menyerang bak babi buta. Baik pada kawan apalagi rival.
Pemilihan model politik seperti ini jelas jauh dari sikap dan pilihan SBY. Entah sepanjang masa pilpres ini SBY seolah menikmati polah tingkah kedua badut politik ini. Jauh berbeda bahkan bertolak belakang dengan 2009 dan 2014. Sayang nama Demokrat tercoreng dua politikus ingusan begitu.
Susah memang mendapatkan politikus sekelas Anas Urbaningrum. Memang masih ada Andi Malarangeng yang belum keluar banyak ke depan masa kampanye ini. masa lalunya membuat susah bagi Andi masuk jajaran level atas. Namun pengganti model Andi Arief apalagi Ferdinan H ini jelas kerugian sangat besar.
Memaki, ini jelas bukan kelas politikus, preman terminal saja sekarang sudah jarang kog. Ternyata dunia maya membawa Ferdinan pada habitat yang menyamankannya. Elit partai harusnya menjaga kualitas partai, apalagi membawa kebanggaan presiden dua periode. Sayang jika dicoreng oleh arang hanya demi nafsu pribadi. Susah mengharapkan model Ferdinan untuk mengembalikan kejayaan Demokrat di masa lalu.
Mengapa SBY seolah diam saja selama ini? Berbeda ketika Roy Suryo banyak membuat lelucon dan mbadut, langsung ditegur, ini kog seolah dibiarkan saja. Ada beberapa hal yang tampaknya menjadi dasar itu.
Pak Beye tentu tidak mau memelihara anak macan semacam Anas Urbaningrum. Ini berbahaya karena model SBY sangat memikirkan keluarga sendiri di atas segalanya. Keberadaan AU, TGB, dan semacam itu berbahaya. Jadi sebisa mungkin bukan mereka yang ada di lingkaran terdekat dan teratas Demokrat dan dirinya.
Mengamankan anak macan, namun tentu sayang jika malah memelihata ular beludak. Bagaimana bisa ular beludak yang tidak akan menjadi pesaing si anak macan, namun merongrong keberadaan Demokrat karena ambisi pribadi mereka yang malah jauh tidak jelas. Membesarkan partai tidak, mau menjadi ketua jelas bukan kapasitas, tetapi menambah kuat partai juga tidak.
Jauh lebih bijaksana bagi Demokrat jika memang masih mau eksis, biarkan AHY tampil ke depan, jadi diri sendiri, dan berani berpolitik praktis dengan kemampuannya sendiri. Pak Beye menjadi penasihat yang memberikan dorongan dan semangat. Jika ada yang keliru semprit bukan di media atau media sosial, hati ke hati.
Keberadaan "ular beludak" itu sangat merugikan, potensi AHY tertutupi dan lebih banyak puja-puji yang tidak penting bisa membuat rusak partai dari dalam. pengalaman AHY cukup mampu memperbaiki keadaan ini. Masih ada waktu, daripada tidak masuk parlemen, jauh lebih parah.
Keberanian SBY melepas AHY dan membersihkan Demokrat sangat penting. Kondisi genting sangat mendesak untuk memperbaiki keadaan, bukan hanya diam dan merasa aman saja. Apalagi menyalahkan pemerintah atau siapapun yang ada di luar sana.
Pendekatan dalam  koalisi yang mendua makin membuat suara dan potensi suara ikut lesap karena tidak jelas. Perlu lagi-lagi keberanian untuk memperbaiki keadaan.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H