Politik ketakutan sangat efektif di dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan. Salah satu tokoh besar yang sukses membuat kengerian di dalam berbangsa adalah presiden Indonesia dengan cap PKI dan itu membuat kecemasan hingga setengah abad lebih. Siapa yang terkena "noda" itu bisa setengah hidup kecemasannya. Ini beneran, bukan hanya kiasan.
Ternyata hal itu pun diambil alih oleh calon pemimpin paling dasar, di desa. Minggu yang baru lewat, desa saya mengadakan pilkades. Ada tiga kandidat yang lolos administrasi dan ujian. Cukup menarik komposisi calon ini. Pertama ada empat calon yang hendak maju. Satu tidak lolos administrasi karena surat catatan kepolisian tidak keluar. Calon ini pernah terkena pidana karena penganiayaan di lokalisasi. Pernah jadi artikel dan masuk Kompas.com.
Unik para pendukung calon ini, karena memang separo pemilih ada di kampung ini, mereka merasa layak untuk tetap maju. Terbentur persyaratan, akhirnya mereka mencoba demo dan boikot. Tetap tidak bisa dan pemilihan tetap berjalan sesuai rencana.
Ketiga kandidat ini memiliki massa masing-masing, dengan usia calon, sangat baik, yang akhirnya terpilih adalah akhir lima puluhan, guru menjelang pensiun. Calon kedua, awal lima puluhan dan memiliki darah kepala desa. Pemilu kemarin caleg Golkar DPR-D-II dan tidak terpilih. Calon ketiga, awal tiga puluhan. Ketua banyak organisasi kepemudaan. Entah mengapa malah memiliki pola pikir sangat tua, zaman kuno, dengan menciptakan ketakutan.
Ia melakukan intimidasi dengan para tetangganya kalau tidak memilihnya akan merasakan akibatnya. Jika meninggal tidak akan datang melayat, jika menikah tidak akan datang untuk mendoakan, dan itu cukup efektif. Yang ketakutan bukan hanya orang yang tidak pengalaman, pensiunan guru saja sangat takut dan cemas jika tidak mendukung calon ini.
Politik ketakutan sangat efektif dalam segala level, selain pusat dengan PKI ala Orde Baru, toh di desa pun masih cukup manjur. Jangan berpikir orang yang tidak berpendidikan dan pengalaman yang akan ketakutan, toh orang berpendidikan, mampu secara ekonomipun takut luar biasa. Jadi hal ini jelas masih cukup menjanjikan untuk dilakukan.
Sejatinya, politik intimidasi dan ketakutan itu sangat akrab dengan tabiat, perilaku bangsa ini. bagaimana dukun "sakti" itu juga menjual ketakutan, bukan semata kultus individu yang dibalut spiritual semata, namun juga ditakut-takuti dengan hal-hal mistis yang membuat jerih pengikutnya.
Dukun baik dalam arti orang yang membantu penyembuhan, atau yang lain, sering memiliki ramuan rahasia, hal-hal yang disengker, cekelan, dan itu sebenarnya hal yang biasa saja di era modern ini. Pohon  kelor misalnya, banyak diasumsikan menjadi sarang lelembut, banyak orang tidak berani menanamnya, padahal di balik mitos itu sangat banyak manfaat dari daun kelor. Mengapa dikatakan banyak lelembutnya? Ya biar hanya si dukun yang memiliki tanaman itu, selain ia bisa banyak membantu, menjaga wibawa bisa "mengalahkan" lelembut. Banyak tanaman menjadi langka karena perilaku sengker para dukun ini.
Mengapa begitu mudahnya bangsa ini ketakutan dalam banyak hal?
Tabiat di dalam pendidikan nonformal, di rumah sering ditakut-takuti dalam berbuat, melakukan sesuatu. Contoh, dilarang keluar surup, senja hari nanti ada sengkala, tidak pernah ada penjelasan ilmiah atau yang logis. Padahal sangat bisa dipahami secara logis. Perubahan suhu, perubahan pencahayaan bisa sangat berbahaya jika berkendara, misalnya. Malah takut hantu dan sebagainya, sama sekali tidak berdasar, dan tetap juga hingga kini demikian itu membayangi, termasuk yang berpendidikan.
Ada pula didikan untuk anak, ditakut-takuti polisi, awas ada polisi, kalau nakal nanti dilaporkan guru, itu seolah sederhana, padahal sangat berpengaruh dalam kepribadian kita. Penakut, mudah ditakut-takuti dan diintimidasi, logika tidak jalan, dan sikap kritis melemah.
Mentalitas feodal yang takut pada banyak hal. Takut pada atasan, pada kekuasaan. Sangat kuat pengaruh ini, apalagi dijajah ratusan tahun, dan pemimpin lokal pun tidak jauh berbeda dengan perilaku penjajah. Ini masih cukup kuat memberikan pengaruh.
Sangat mudah dipahami, ketika dalam pemilu, pemilihan presiden, ada indikasi politik ketakutan sebagai sarana meraup suara. Habitat, tabiat, kebiasaan bangsa ini memang sangat mudah untuk ketakutan, belum lagi dibalut agama. Ketakutan yang sama sekali tidak mendasar sebenarnya.
Sikap kritis lepas karena lagi-lagi ketakutan membuat otak tidak berjalan dengan semestinya. Bayangkan coba mana bisa orang takut itu bisa berpikir jernih, hal ini yang dimanfaatkan oleh politikus malas untuk mendulang suara.
Pelaku intimidatif, politik ketakutan ini dilakukan dengan sadar oleh politikus yang jelas sudah kalah dalam banyak hal. Satu-satunya cara dengan menakut-nakuti pemilih yang lagi-lagi telah dikuasai dengan kecemasan dan ketakutan.
Apakah bisa dipatahkan massa pencemas dan penakut ini?
Sangat bisa. Pendidikan jelas sangat penting, sehingga masyarakat bisa berpikir kritis, jernih, dan cerdas. Membedakan mana yang logis, benar, dan hanya kebohongan yang diciptakan dan mengambil keuntungan? Hal ini hanya bisa dilakukan dengan pendidikan yang baik dan berkualitas.
Mengubah kebiasaan dalam pendidikan dalam keluarga. Perlu ditekankan untuk membiasakan pendidikan dalam keluarga yang logis, bukan menakut-nakuti, dan demi keenakan orang tua semata. Hal yang terlalu banyak mempengauhi psikologis bangsa.
Agama, jelas memegang peran penting. Bagaimana agama bisa berperan dengan mengajarkan keberanian di dalam membela kebenaran bukan malah takut pada kebenaran. Selama ini malah sebaliknya, orang takut atas kebenaran karena intimidasi, dan malah berani melanggar hukum karena teman banyak.
Bangsa ini  bangsa besar, namun diperlemah oleh jiwa penakut dan diperparah politikus haus kuasa untuk menciptakan ketakutan. Apa masih layak untuk takut di dalam kebenaran? Tidak.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H