Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi dan Kelas Menengah

9 Desember 2018   05:00 Diperbarui: 9 Desember 2018   04:59 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari-hari ini, banyak relawan dan pendukung Jokowi yang merasakan seolah Jokowi sendirian. Para partai pendukung hanya begitu-begitu saja, pun para kader yang nyaleg, asyik dengan kampanye diri mereka. Ada juga anggapan banyak pihak yang hanya ndompleng nama presiden yang cukup moncer. Sangat wajar melihat capaiannya.

Beberapa rilis survey menyebutkan bahwa pemilih Jokowi memiliki kecenderungan bahwa menengah ke atas itu lemah. Menengah baik kemampuan secara ekonomi, ataupun taraf pendidikan. Cukup aneh dan menjadi tanya mengapa bisa demikian. Ada beberapa hal yang bisa dilihat;

Kelompok menengah banyak terganggu keberadaannya oleh kebijakan pemerintahan periode ini.

Mereka ini bisa pejabat, pengusaha, atau akademisi, pokoknya kepentingan, kebiasaan, dan budaya mereka selama ini terhambat. Ada yang karena terbiasa mendapatkan "upeti", atau terbiasa menyuap untuk memudahkan urusan. Budaya lama yang sangat dinikmati, seperti anak kecil yang dihentikan kebiasaan menyusu.

Pajak dan tax amnesty, lagi-lagi juga kelompok mereka yang selama ini nyaman dengan perilaku membayar pajak. Bagaimana biasa main mata dan akhirnya pajak yang dibayarkan tidak perlu sebanyak yang seharusnya. Jauh di bawah yang seharusnya karena sudah kong kalikong dan masuk kantong pribadi pegawai pajak.

Budaya uang terima kasih. Dari hampir semua lini hal ini terjadi, ada yang menilai ini sebagai hal yang wajar, padahal itu adalah perilaku korup, sebagaimana diakui salah satu pimda yang ditangkap KPK. Uang terima kasih yang kini harus berhenti, sangat susah juga untuk mengubah kebiasaan yang berjalan sekian puluh tahun. Siapa yang banyak mendapatkan uang terima kasih? Lagi-lagi kelompok menengah.

Budaya kolutif dalam mengurus ini dan itu. Naik pangkat, naik jabatan, dan sebagainya uang dan materi biasa menjadi pelancar. Nah di sini masalah bagi kelompok menengah, di mana biasa mengggunakan uang dan pelicin, saatnya mendapat "pengganti" eh mulai dipangkas. Ini jelas membuat mereka meradang.

Birokrasi dan pegawai yang terbiasa bekerja seenaknya dan harus bekerja sesuai dengan standar pemerintahan yang semestinya. Lagi-lagi kelompok menengah, yang awal dan akhir bisa menyesuaikan dan tidak akan  ribet. Kelompok ini tidak main-main. Cukup besar dan dengan para pengikut dan anak buah cukup banyak.

Kehidupan bersama yang selama ini tanpa ada kepedulian diajak untuk sikap berbeda, di mana mulai memberikan kepedulian, mendapatkan penghormatan meskipun hasil dari yang buruk sekalipun, kekayaan yang diperoleh dari korupsi pun tidak malu.  Mulai ada yang diajak berpikir dan mengadakan refleksi bahwa hidup bersama perlu dibangun dengan karakter yang baik.

Mentalitas proyek, di mana semua diukur pilihan dan kebijakan dapat keuntungan apa, berapa besar, dan apakah bisa terus atau hanya sesekali. Paling tenar tentu pantura yang dinilai sebagai proyek abadi, tidak pernah serius sehingga selalu ada perbaikan dan itu artinya uang besar untuk diri dan kelompok.

BUMN itu lahan basah bagi banyak pihak. Di mana kemajuan BUMN itu hanya angan-angan, mundur iya, mengapa? Karena tidak profesional, tidak serius, dan hanya menjadi atm kelompok dan pribadi. Kini semua itu mulai diubah, digerakkan untuk bangsa dan negara. Ada yang suka? Jelas rakyat bahagia, apakah menengah suka? Jelas tidak. Pun dengan sumber daya alam dan tambang, FPI contohnya.

Pribadi yang berpikir sempit dan egoisme, karena mereka hanya berpikir mengenai keuntungan sendiri, kenyamanan sendiri dan enggan untuk memenuhi kewajibannya. Mereka banyak menemukan jalan berkelit untuk bisa memenuhi kewajiban. Termasuk ketika ada BPJS. Keakuan dan cinta diri yang berlebihan.

Jika mau sedikit saja nalarnya berjalan. Pajak yang lebih tinggi akan kembali ke diri kembali. Pembangunan infrastruktur, adanya sarana dan prasarana yang baik, akhirnya ada balasan setimpal  yang dapat kembali dirasakan. Bedakan dengan kong kalikong pajak, hemat sesaat dan hanya  hemat tanpa ada imbal balik dan kontribusi bagi bangsa dan negara.

Mereka ini tahu, bahkan paham bahwa apa yang dilakukan pemerintah dan Jokowi itu jelas benar dan baik, namun mereka jengkel karena kepentingan dan kesenangan mereka itu terhenti, terganggu, dan enggan dipisahkan dari hal yang sangat menyenangkan itu. Mereka memiliki pemahaman yang baik namun tidak mempunyai nurani yang jernih karena sudah sangat dipengaruhi kesenangan dan kesukaan yang demikian memabukan.

Kelompok ini  pula yang membuat isu yang cukup masif tidak bermanfaatnya infrastruktur, kekacauan BPJS, dan banyak hal baik yang dicoba direduksi, direcoki dengan masukan sesat mereka. Mereka tahu persis bahwa apa yang berjalan dengan baik itu sangat merugikan keberadaan mereka. Mereka tahu akan kekeringan jika negara berjalan dengan baik, dan itu sebisa mungkin tidak terjadi.

Rakyat kecil, penduduk yang tidak mendapatkan keuntungan secara langsung pembangunan era lalu, jelas suka cita dengan pilihan pemerintahan saat ini. Mereka memiliki pandangan yang jauh lebih jernih karena mendapatkan kemudahan saat ini, bukan karena sesaat dan egoisme.

Apakah mau terus mundur seperti era lalu? Itu ada di tangan kita.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun