Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mohon Maaf itu Jiwa Besar, Sengaja Salah itu Kerdil

2 Desember 2018   05:00 Diperbarui: 2 Desember 2018   05:00 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat menjadi tukang Pembentukan Karakter  siswa-siswi bagi sebuah yayasan pendidikan di suatu pulau, dalam satu sesi untuk kelas tertentu itu, ada yang membahas mengenai pertobatan. Ilustrasi yang saya pakai adalah, sakit itu perlu obat, salah itu perlu maaf, kalau dosa itu perlu tobat. Tobat dan obat itu dekat dan mirip.

Salah satu jiwa besar itu kalau berani mengakui kesalahan, meminta maaf, dan ada kelanjutannya bertobat. Pertobatan itu bukan semata kata maaf, ampun, sori, atau sejenisnya, esensi  tobat itu adalah balik arah, tidak lagi mengulangi hal yang sama. Apa bedanya dengan omong kosong jika mengulangi berulang kali, apa tidak malu dengan keledai yang tidak jatuh kedua kalinya di lubang yang sama.

Dalam sebuah kisah inspirasi, ada cerita mendalam. Seorang bapak prihatin melihat anak laki-lakinya, gampang sekali mengumpa, emosional, pemarah, dan seolah tidak peduli pada lingkungan yang ia sakiti. Semua cara dan trik dilakukan, awalnya memarahi, membuat makin parah. Cara halus pun sama saja, orang yang disegani, hanya mempan sejenak.

Suatu hari si bapak memaku dinding untuk memasang gambar. Ia memiliki ide untuk mencoba cara lain menyadarkan si anak. Si anak diminta ketika sekali membuat hujatan, umpatan, dan cacian, atau kemarahan ia harus memaku sebuah papan. Ternyata cukup efektif, setiap waktu berangsur berkurang kemarahan dan ngamuk si anak.

Ketika makin sedikit, dan bahkan dalam waktu yang cukup lama si anak tenang, si bapak memintanya untuk mencabut setiap kali ia berbuat baik, membantu ibu, adik, berdoa, atau apapun yang dimaknainya sebagai perbuatan baik. 

Ternyata jauh lebih cepat ia mencabut hampir seluruh paku dari papan tersebut. Si anak juga makin tenang dan tidak lagi meledak-ledak, ia telah bisa mengatasi emosional yang awalnya tidak terkendali itu. 

Ketika benar-benar paku itu telah habis tercabut, dengan perasaan haru ia peluk si anak dan diajak untuk melihat bekas paku itu. Meskipun telah memohon maaf, mendoakan, dan berbuat baik apapun, toh bekas paku itu tetap ada di sana.

Maaf dan memaafkan itu ada dua sisi. Antara pelaku dan obyek yang terkena sasaran perbuatan tidak baik, yang akan memberikan maaf. Seperti antara pemaku dan papan. Boleh bahwa pemaku mengatakan meminta maaf, dan hak papan itu memberikan maaf, atau tidak, dan membakas atau tidak.  Dan jika pemaku mengatakan bahwa memohon maaf itu berjiwa besar itu juga boleh-boleh saja, apakah orang yang terkena "kesalahan" itu benar-benar iklas dan memaafkan dengan setlus hati, dan tidak ada "bekas"?

Itu dalam sisi psikologis dan spiritual, bagaimana dalam pola politis yang  kali ini ternyata seolah menjadi cara Sandi untuk membuat dan melakukan kebohongan berulang dan kemudian mohon maaf, atau Prabowo yang meledek dan kemudian trik yang sama, meminta maaf.

Sederhana memang meminta maaf itu jika hanya sebatas lamis, hanya asal memenuhi hasrat bisa klaim berjiwa besar atau mendapatkan label  rendah hati dan berani bertanggung jawab. Boleh saja, namanya juga manusia itu tidak lepas dari salah, khilaf, atau keliru. Apa yang terjadi jika seolah itu pola berulang? Apa iya rendah hati dan jiwa besar? Malah sebaliknya, itu bebal dan berjiwa kerdil karena tidak belajar lebih baik.

Produsen kebohongan dan meminta maaf, termasuk blunder dan kontroversi.

Ini perulangan yang sama terus menerus. Khususnya apa yang dinyatakan Sandi, menjelang pilkada DKI trik yang sama juga dipakai, dan itu menghasilkan.  Ternyata hal yang sama juga dilakukan Trump untuk meraih suara, dan lagi-lagi menang.

Beberapa hal yang menjadi pembeda akan hasil adalah;

Dua pemilihan dengan konteks yang berbeda tentu belum tentu sama dengan keadaan pilpres kali ini. sikap Ahok dan Hilarry juga identik, mereka yakin akan pemilih rasional dan cerdas pasti tidak akan memilih tokoh yang hanya bisa bohong dan menebar kontroversi. Ini jelas telah menjadi pembelajaran ang penting.

Ujaran kontroversi dan kalimat ledekan yang itu-itu juga, pun kebohongan yang diulang-ulang, itu hanya soal biar diingat dan dijadikan bahan perbincangan di media. Asal tenar sesaat, bukan hal yang esensial dibicarakan. Media sosial menjadi bahan untuk melakukan kampanye model ini.  Artinya  dunia maya itu bisa apa saja dan bisa siapa saja. Apakah ini cukup siginifikan? Iya karena orang bisa menjadi khawatir, takut, dan bisa mengubah keadaan.

Apa yang bisa dilakukan?

Pendekatan kultural dan spiritual. Kekuatan ada pada tokoh berwibawa di akar rumput. Nah ini yang menjadi agen-agen  memberikan keyakinan bahwa apa yang disajikan itu kebohongan, itu jelas jauh dari norma agama, yang bangsa ini yakini. Permintaan maaf mereka tidak tulus karena diulang-ulang. Ini juga perlu didengungkan berulang, sehingga orang menjadi jelas, bukan malah bingung.

Komunitas-komunitas akar rumput yang mulai terpapar kebohongan dan klaim jiwa besar ini cukup banyak, karena pengetahuan atau melek media masih rendah. Dunia maya perlu diimbangi dengan kerja keras, kerja cerdas, dan  menguatkan pasukan dunia maya yang setara dengan "pasukan" mereka. Dengan demikian, mereka tidak cukup kekuatan untuk merasa di atas angin. Selama ini kubu mereka terprogram dan kubu incumbent seolah hanya jalan sendiri-sendiri.

Keberanian Jokowi keluar dari zona nyamannya memang akan membuat orang yang tidak memahami dinamika politis kecewa, mereka yang hanya melihat Jokowi hrus tenang, mengalah, tidak reaktif, ini banyak, tetapi tidak lama. Kelompok ini juga perlu diberikan pemahaman, memang kata-kata keras, lugas, dan cenderung reaktif itu juga dibutuhkan.

Penting adanya keberanian Jokowi dan tim merespons menggunakan pola mereka. Jika pola mereka djawab dengan pola dan cara mereka akan kebingungan, mereka tidak cukup sigap memiliki daya dan waktu untuk mengubah keadaan.SOP mereka tampak tidak memiliki rencana cadangan, ini terlihat paniknya mereka dengan hanya dua kata, sontoloyo dan gendruwo, mereka malah termakan umpan itu.

Kepanikan itu jelas karena mereka tidak memiliki stratgi dan cara lain yang dipersiapkan dengan baik dan terencana.  Perencanaan mereka lemah dan itu memperlihatkan kualitas kepemimpinan.

Penegakan hukum dengan risiko caci maki cukup signifikan membendung arus kebohongan dan kontroversi yang mereka produksi dan hendak digaungkan. Pihak yang biasanya paling cepat membagikan dan menjadikan itu viral, banyak yang sudah tiarap dan jerih. 

Memang risiko tuduhan kriminalisasi dan otoriter terucap, itu jelas karena jaringan mereka terpangkas. Bagaimana tidak marah ketika kaki tangan mereka terpangkas dengan cepat dan relatif masif.

Negara ini telah menampakan hasil perubahan yang signifikan menuju kemajuan, apa iya dipercayakan pada jiwa dan pribadi kerdil namun berpura-pura besar begitu?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun