Pertama, polarisasi pemilih itu tetap saja seperti dulu. Pemilih Jokowi hampir tidak ada yang beralih karena melihat reputasi, rekam jejak yang sesuai dengan pilihan. Elit sedikit banget yang karena kecewa tersingkir dari kementerian paling yang beralih, toh gerbongnya tidak besar. Malah ada yang tetap di belakang Jokowi  karena tahu diganti itu demi bangsa.
Kedua, massa pemilih Prabowo tidak juga bisa dipengaruhi untuk meninggalkan dan memilih Jokowi, pendukung fanatis, meskipun banyak juga yang menyesal karena dulu salah duga dan kini menikmati pembangunan ala Jokowi sebagaimana diperlihatkan beberapa gubernur, dan itu memiliki gerbong sangat signifikan.
Ketiga, mengenai gaya komunikasi politik yang dipakai, ternyata merupakan reaksi atas aksi yang berulang. Lihat empat tahun cukup hanya senyum, namun kini saatnya bicara, dan masih konteks yang tepat. Tidak berlebihan dan cukup membuat rival sibuk sendiri akhirnya. Masih dalam koridor yang pantas dan belum berlebihan.
Keempat, berkaitan dengan point ketiga, jika Jokowi menggunakan pola 2014, jelas akan jadi bulan-bulanan. Mereka merasa tidak memiliki beban dengan dalih kebebasan berekspresi. Empat  tahun dalam amatan yang jelas dan tetap diulang, dijawab dengan trik yang sama. Membuat mereka kalang kabut.
Keempat, banyak punggawa yang menggunakan trik yang sama itu beralih kandang di kubu Jokowi, seperti Golkar, P3, dan beberapa individu tentu membuat pilihan dengan perhitungan yang sangat matang bahwa ini bisa menjadi cara yang cukup efektif.
Kelima, dulu ketika itu didiamkan saja dan terus diulang-ulang narasi yang sama selama empat tahun lebih, ketika dijawab mereka menjadi pontang-panting, karena tidak siap dengan alternatif cara berkampanye mereka. Cerdik karena mereka asyik selama ini dan masuk perangkap yang mereka buat sendiri.
Keenam, penegakan hukum yang sangat berat risikonya, dengan memberantas saracen dan kawan-kawan, kepergian Rizieq, dan masuk buinya Jonru, serta kasus demi kasus Dhani membuat peluang mereka menebarkan berita miring teredam.Â
Penegakan hukum yang sangat sulit karena simalakama, pemimpin penakut akan takut dengan label yang didengungkan pemimpin otoriter, tidak tahan kritik itu bukan kritik, tetap nyinyir yang tidak berdasar.
Ketujuh yang dihadapi itu degil, di mana tegar tengkuk, sudah salah masih saja nyolot, dan malah menuduh pihak lain sebagai pelaku. Model demikian dihadapi dengan cara mereka pakai yang membuat mereka kalang kabut.
Sangat disayangkan memang bagaimana berkompetisi kog tidak dewasa, namun menghadapi anak kecil ngamuk pengin balon juga tidak diceramahi oleh pemuka agama, atau diberikan neraca keuangan keluarga, ya dijawab dengan bahasa anak saja. Kecewa bagi yang sudah dewasa, namun itu pilihan yang lebih memberikan peluang yang sesuai dengan alur pikir politis mereka ciptakan.
Terima kasih dan salam