Gaya yang ditampilkan Jokowi  akhir-akhir ini cukup baru dan mengagetan terutama bagi kubu rival yang tidak menyangka akan menggunakan cara yang berbeda sama sekali dengan 2014 lalu. Terakhir mengenai mau nabok, yang selalu mengaitkan dengan PKI.Â
Hampir bersamaan mengatakan, ada orang kaya raya yang tidak pernah masuk pasar tiba-tiba masuk pasar, dan pas keluar teriak-teriak harga mahal. Hal yang cukup menohok, dan itu berbeda dengan kampanye lalu.
Orang masih ingat dan banyak yang terkesan dengan ujaran aku ra papa, yang jelas memperlihatkan kesederhanaan, menyatakan hal yang ia alami atau tuduhkan itu tidak mempengaruhi dirinya, itu hanya sebuat intrik politis yang tidak akan berpengaruh bagi kualitasnya.Â
Sangat baik dan itu membuatnya banyak orang terkesima dan akhirnya menjatuhkan pilihan.
Apa yang disajikan kali ini adalah beda konteks dan kasus, karena posisinya yang membedakan. Pada 2014 hanya pribadinya sendiri, sebagai Joko Widodo yang berkontestasi sebagai calon presiden. Hal yang sangat wajar jika menyikapi itu dengan diam dan menerima, ngalah. Tidak ada masalah yang berlebihan.
Kini kondisi berbeda, kadang yang dijadikan sasaran itu bukan hanya pribadi Joko Widodo sebagai calon presiden semata, namun sebagai kepala negara, kepala pemerintahan yang masih menjabat. Soal politius sontoloyo, di mana yang disasar adalah politikus yang biasa  memutarbalikan fakta.Â
Ini jelas merugikan negara secara keseluruhan, bukan hanya Jokowi sebagai pribadi calon presiden. Kredibilitas bangsa ikut dipertaruhkan jika didiamkan saja.
Politikus gendruwo, di mana orang atau politikus yang menakut-nakuti, menciptakan ketakutan, siapa yang ditakut-takuti, rakyat, bangsa, dan negara ini secara umum. Berbeda jika yang citakut-takuti itu Jokowi sebagai calon presiden, reaksinya berbeda. Apalagi ketakutan yang dinyatakan lebih banyak ilusi dan kurang data, beberapa data dipotong, dan kadang data sebagian dikaitkan dengan hal yang jauh berbeda.
Isu PKI yang berkali ulang dinyatakan Jokowi pun sangat wajar direaksi dengan kata mau nabok. Hal yang diulang-ulang selama empat tahun lebih, ini membodohi rakyat dan negara. Hal yang sangat merendahkan kualitas bangsa dan negara.Â
Sebegitu rendahnya kualitas bangsa sehingga masih percaya kebohongan murahan begitu. Sama sekali tidak ada yang baru, tetapi masih ada yang membutakan diri, ini serius jangan hanya dibaca sebagai soal kampanye saja.
Beberapa pengamat ada yang menyesalkan mengapa Jokowi mengambil sikap demikian, kog berbeda dengan 2014. Bisa menjadi kerugian yang  patut disayangkan, apakah demikian?
Pertama, polarisasi pemilih itu tetap saja seperti dulu. Pemilih Jokowi hampir tidak ada yang beralih karena melihat reputasi, rekam jejak yang sesuai dengan pilihan. Elit sedikit banget yang karena kecewa tersingkir dari kementerian paling yang beralih, toh gerbongnya tidak besar. Malah ada yang tetap di belakang Jokowi  karena tahu diganti itu demi bangsa.
Kedua, massa pemilih Prabowo tidak juga bisa dipengaruhi untuk meninggalkan dan memilih Jokowi, pendukung fanatis, meskipun banyak juga yang menyesal karena dulu salah duga dan kini menikmati pembangunan ala Jokowi sebagaimana diperlihatkan beberapa gubernur, dan itu memiliki gerbong sangat signifikan.
Ketiga, mengenai gaya komunikasi politik yang dipakai, ternyata merupakan reaksi atas aksi yang berulang. Lihat empat tahun cukup hanya senyum, namun kini saatnya bicara, dan masih konteks yang tepat. Tidak berlebihan dan cukup membuat rival sibuk sendiri akhirnya. Masih dalam koridor yang pantas dan belum berlebihan.
Keempat, berkaitan dengan point ketiga, jika Jokowi menggunakan pola 2014, jelas akan jadi bulan-bulanan. Mereka merasa tidak memiliki beban dengan dalih kebebasan berekspresi. Empat  tahun dalam amatan yang jelas dan tetap diulang, dijawab dengan trik yang sama. Membuat mereka kalang kabut.
Keempat, banyak punggawa yang menggunakan trik yang sama itu beralih kandang di kubu Jokowi, seperti Golkar, P3, dan beberapa individu tentu membuat pilihan dengan perhitungan yang sangat matang bahwa ini bisa menjadi cara yang cukup efektif.
Kelima, dulu ketika itu didiamkan saja dan terus diulang-ulang narasi yang sama selama empat tahun lebih, ketika dijawab mereka menjadi pontang-panting, karena tidak siap dengan alternatif cara berkampanye mereka. Cerdik karena mereka asyik selama ini dan masuk perangkap yang mereka buat sendiri.
Keenam, penegakan hukum yang sangat berat risikonya, dengan memberantas saracen dan kawan-kawan, kepergian Rizieq, dan masuk buinya Jonru, serta kasus demi kasus Dhani membuat peluang mereka menebarkan berita miring teredam.Â
Penegakan hukum yang sangat sulit karena simalakama, pemimpin penakut akan takut dengan label yang didengungkan pemimpin otoriter, tidak tahan kritik itu bukan kritik, tetap nyinyir yang tidak berdasar.
Ketujuh yang dihadapi itu degil, di mana tegar tengkuk, sudah salah masih saja nyolot, dan malah menuduh pihak lain sebagai pelaku. Model demikian dihadapi dengan cara mereka pakai yang membuat mereka kalang kabut.
Sangat disayangkan memang bagaimana berkompetisi kog tidak dewasa, namun menghadapi anak kecil ngamuk pengin balon juga tidak diceramahi oleh pemuka agama, atau diberikan neraca keuangan keluarga, ya dijawab dengan bahasa anak saja. Kecewa bagi yang sudah dewasa, namun itu pilihan yang lebih memberikan peluang yang sesuai dengan alur pikir politis mereka ciptakan.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H