Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kementerian Agama, Sudahkah Mengantar Umat kepada Tuhan?

20 November 2018   12:00 Diperbarui: 20 November 2018   13:58 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca buku Satu Tuhan 1000 Tafsir, cukup menggelitik, apalagi pas membaca itu lewat kantor Kementrian Agama tingkat kota. Dalam buku itu disebutkan bahwa agama itu sejatinya ada tiga tingkatan, pertama tingkat pengetahuan, otak, hafalan, dan ranah pengertian, serta definisi, hukum dari A sampai Z.

Tahap kedua, kesadaran. Di mana mulai ada upaya tahu itu tidak cukup. Untuk apa sih hafalan itu, pun ada sikap kritis dan memilah serta memilih. Kesadaran ini membawa sikap batin, pembatinan atau internasisasi atas pengetahuan. Menjadi milik, bukan lagi kata guru, pastor, ustad, kyai, bante, namun apa pemahanku atas pengetahuan agama dan Ketuhanan.

Taraf tiga adalah taraf aplikasi di mana kita melakukan itu dengan spontan di dalam hidup sehari-hari. Tidak akan berpikir lama, apalagi perlu bertanya-tanya kepada guru spiritual misalnya. Pemahaman yang berasal dari pengetahuan yang disadari itu telah menjadi gaya hidup.

Nah pertanyaannya, apakah Kementrian Agama sudah berperan mengantar ke arah tahap aplikasi dari agama-agama yang ada di Indonesia?

Setiap kali lewat Kantor Kementrian Agama, bertahun-tahun, kog belum pernah melihat spanduk, banner ucapan selamat hari Natal, Paskah, Waisak, Nyepi, atau Tahun Baru Imlek. Apa tidak ada ide, gagasan dari para pembimas masing-masing agama. Hal yang sepele seperti ini pun, lembaga yang seharusnya terdepan di dalam mengajarkan sikap toleransi malah teledor, bagaimana yang lain.

Ada pertanyaan yang jawabannya sudah pasti kog, apakah mungkin menteri agama itu dijabat oleh Nonmuslim. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab sudah jelas kog. Lha senyatanya hanya soal gubernur Jakarta saja menjadi berlarut-larut.

Secara teori sebenarnya bisa, karena kantor kementrian agama itu bukan mengurus soal agama dalam arti dogmatis, lebih cenderung berperan sebagai fasilitator, administrator, yang berkaitan dengan kehidupan bersama sebagai pemeluk agama. Mengurus lebih ke arah kertas dan dokumentasi hidup beragama bukan masalah isi agama masing-masing.

Hal yang sama dalam silang sengketa pernyataan Grace Natalie, yang mengatakan tidak mendukung perda berdasar agama tertentu. Ini negara Pancasila, jelas peraturan itu berdasar Pancasila dan agama sudah terakomodasi dalam sila pertama. Sangat jelas di sana.

Jadi menteri agama, bisa suatu saat seperti Panglima TNI yang dilakukan bergilir setiap matra. Namun akan seperti utopis karena bangsa ini sedang dijangkiti penyakit sentisitifitas tingkat mahatinggi. Bagaimana sedikit-sedikit menista agama, sedikit-sedikit melecehkan ayat suci.  Mengapa demikian?

Ternyata orang yang masih pada level kognisi itu akan fasih mengutip ayat suci, ritual dari A sampai Z dengan tekun, namun melakukan kejahatan juga dengan enteng, nanti mencari pembenar yang akan dikamuflasekan dengan ayat yang ia sitir, ia penggal, dan ia jadikan pembenaran atas perilaku jahatnya.

Pengetahuan ini menjadi dalih karena memang masih hanya menjadi kulit, pakaian, dan atribut semata. Sering kita saksikan dulunya "liar" dan bisa melakukan kejahatan apa saja, namun begitu tersandung kasus hukum, langsung alim, menggunakan pakaian yang menyirikan keagamaannya.  Mereka tahu, namun tidak paham, apalagi sadar.

Jika agama hanya berkutat pada hal ini, perpustakaan, buku, dan google saya jauh lebih dari cukup untuk menjadi pembina pengetahuan agama. Itu semua tidak cukup. Level anak-anak hingga remaja saja.

Orang beragama harus sampai kesadaran, tidak cukup hanya hafal apa yang tidak boleh dan boleh oleh agama, namun mengapa itu tidak boleh dan ini boleh. Tidak boleh mencuri bukan kemudian mencari pembenar bahwa bukan mencuri namun menemukannya. Atau melakukan korupsi namun mencari dalih bahwa itu karena gajinya kecil, itu rezeki jalan lain. Tidak, itu tidak boleh diterima karena ada yang dirugikan.

Bagaimana merugikan orang lain pada satu sisi, sisi lain mengutip ayat-ayat suci dengan fasih, ini artinya belum membawa kesadaran. Masih ranah menjalankan kewajiban karena takut dosa dan neraka semata.

Sikap kritis dan mencerminkan hidup atas ajaran agama. Apa sih ajaran paling dasar, jelas mengasihi Tuhan dan sesama. Mana agama yang mengatakan tidak demikian? Coba bayangkan jika itu bisa dilakukan, tidak akan ada balas dendam, tidak akan ada perang, tidak akan ada iri hati, semua akan bahu membahu sebagai satu saudara.

Aplikatif, jalan hidup, agama telah menjadi jiwa, tidak lagi berpikir soal apakah ini benar atau salah, merugikan atau tidak, sudah otomatis begitu saja. Agama sudah menjadi seolah nafas yang berjalan begitu saja. Membedakan yang baik dan buruk, memilah dan memilih itu sudah mengalir saja, tidak lagi perlu memikir lama, apalagi mencari petunjuk dari penasihat spiritual.

Sudah menyatu antara perbuatan dan tutur kata, satu kata dan perbuatan. Sudah memasuki alam sufi, bodi, atau mistik, manunggaling kawula Gusti, dan mengatasi kemanusiaan. Apakah ini utopis? Tidak, tentu tidak dalam kondisi yang terbaik, ideal, dan tertinggi. Jatuh bangun itu biasa dan wajar.

Agama dan penghayatan agama apapun akan sama dan setipe seperti di atas. Mau agama apapun, jika menegetahui, menyadari, dan melakukannya, tanpa pamrih, tanpa berpikir apapun, selain hanya melakukan kehendak Tuhan, hidup akan tenteram dan bahagia.

Terima kasih dan salam

Ref. Satu Tuhan Seribu Tafsir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun