Beberapa kali, dalam hitungan hari, salah satu capres, yang sekaligus adalah incumbent, Jokowi mengeluarkan pernyataan yang cukup menyengat. Usai mengatakan politikus sontoloyo, bagi pelaku politik tidak jelas. Eh masih riuh rendah dibahas sudah disusul dengan politik yang menakuti-nakuti itu gendruwo.
Jelas kubu sebelah yang menjadi sasaran tudingan meradang danmenyatakan rival mereka sebagai panik, marah-marah, emosional, dan seterusnya. Apakah secara esensial demikian, perlu dilihat lagi juga konteks, kelanjutan atas ungkapan itu, dan perilaku lebih luas. Tidak cukup hanya dia kata kemudian disimpulkan demikian. bisa dipahami juga siapa pelakunya.
Salah satu pengamat menilai cukup berbeda dengan pada 2014, ya memilih akurapapa, sebagai jawaban atas tuduhan-tuduhan dari rival yang sama juga sebenarnya. Oleh pengamat tersebut Jokowi sebagai pemangku jabatan seolah melawan teori komunikasi politik yang memilih menyerang, bukan mengomunikasikan keberhasilan atau prestasinya.
Sepakat bahwa pilihan Jokowi berbeda dengan 2014 lalu, padahal lawan yang sama, pola pun identik, bahkan banyak yang dulu adalah produsen serangan kini ada di barisan yang sama.  Mengapa perlu bahasa komunikasi yang cenderung menyerang, bukan nrimo sebagaimana 2014?
Sebenarnya bukan hanya menjelang pemilu ini saja Jokowi memilih frontal dan melakukan serangan. Dulu, ia menyatakan, jangan takut kalau diajak berantem. Jelas ini membuat orang dan kelompok yang biasa memanfaatkan Kejawaan Jokowi yang ngalah duwur wekasane itu kaget. Dan kagetnya akhirnya diwujudkan dengan tuduhan presiden mengajak dan mengajari kekerasan. Sekali lagi, wajar, namanya juga kaget.
Hal yang sama diikuti dengan kalau diam membuat diinjak, ya bicaralah agar mereka diam. Ingat ini juga falsafah Jawa yang dimodifikasi menghadapi kondisi yang tidak mendukung. Mengapa demikian, kubu yang dihadapi itu watonsulaya, jadi jika dihadapi dengan cara yang sama tidak akan memberikan daya yang sebagaimana diharapkan. Akan terjadi, dikei ati nggrogoh rempela, diberi hati malah mencuri ampela. Konteksnya menjadi penting.
2014 Â Jokowi itu masih gubernur, belum menjadi "masinis" atas gerbong yang sangat besar. Ingat kini ia adalah pemimpin bangsa dan negara. Suka atau tidak, itu adalah fakta, ia presiden Republik Indonesia, bukan presiden atas pemilihnya atau parpolnya. Pun ia adalah tumpuan koalisi yang sangat berharap banyak pada diri dan capaiannya. Ini yang membedakan, 2014, belum banyak yang yakin dan menjadikannya harapan, masih bisa kalem menghadapi serangan demi serangan. Kini berbeda.
Ketegasan itu bukan kekerasan. Sikap tegas dan berani bersuara itu penting karena yang dihadapi bukan orang dan kelompok rasional. Jelas-jelas mereka menikmati infrastruktur saja mereka mencoba merusak persepsi dan mengubah fakta seenak udelnya yang penting menggerus suara incumbent dan menguntungkan kepentingan mereka. Di sinilah soal diam dan berani diajak ribut itu menemukan momentum kebenarannya.
Apakah Jokowi ikut genderang Sandi yang memainkan politik remeh temeh dan malah larut ke sana? Tergantung sudut pandang yang menilai, dan itu sah-sah saja. Namun bisa dipahami bahwa  hal ini cukup cerdik karena mereka malah kalang kabut sendiri karena tidak menyangka kalau Jokowi akan mengambil cara komunikasi demikian. Mereka yang biasa mengambil cara receh itu kaget dan tidak siap dengan antitesis karena mereka biasa mainkan, ketika permainan mereka ikut dimainkan mereka bingung sendiri. Nah lahirlah tudingan presiden marah-marah karena suaranya mandeg dan terkejar. Ya biar saja, apakah demikian? Tidak.
Apa yang dilakukan Jokowi juga demi nama baik bangsa dan negara. Bagaimana hujatan, caci maki, dan tuduhan, bahkan kadang fitnahan. Nah coba bayangkan bagaimana negara lain akan melihat jika demikian. Sikap yang  masih bisa dimengerti pilihan menyerang ini, toh masih wajar dan cukup terukur.
Pilihan cukup cerdik karena membuat orang dan kubu rival kaget karena tidak mengira pola pendekatannya jauh berbeda dengan 2014. Mereka sibuk dan asyik menangkis, dan akhirnya malah lupa untuk "mengeluarkan jurus serangan" karena kehabisan celah, sekali lagi, pola mereka diambil laih.
Pilihan falsafah Jawa, dipangku mati, tidak berlaku. Akhirnya ya melakukan apa yang harus dilakukan, karena sekian lama diam, malah diinjak. Orang tidak akan ma ditelanjangi bukan? Mereka kaget ketika kesontoloyaan mereka itu terkuak. Mereka merasa nyaman dan baik-baik saja. Apakah itu kemarahan? Bisa dilihat dari keseluruhan, konteks, dan jelas rekam jejaknya.
Cukup menarik apa yang disajikan Jokowi, kelengkapan cara berkomunikasi, yang dulunya kalem dan menerima saja apa yang dilakukan rival, dan kini mulai keluar dan menohok. Lumayan cerdik polanya dan tetap susah diprediksi ini cukup merepotkan kubu sebelah yang menggunakan pola yang sama.
Identik dengan era Mou di Madrid yang dihajar habis Barca karena pola yang sama, hanya karena Mou tidak mau memilih bertahan. Terbuka menjadi lahan empuk Barca dan digelontor lima gol tanpa balas. Ini hanya soal sikap dan kemauan, pilihan cerdik yang tidak siap diantisipasi.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H