U-19 usai sukses menggapai babak gugur, dan menunda mimpi ikut piala dunia. Pun U-17 beberapa waktu lalu, mengikuti seniornya U-23 yang juga tersisih di satu level di bawah target. Menarik apa yang disajikan dalam gelaran demi gelaran ini. adanya harapan baik untuk bisa berlaku regenerasi dengan proyeksi yang tidak jauh berbeda. Yuniornya bisa menerima tongkat estafet dengan lebih baik.
Pembelajaran bersama yang bisa dilihat adalah:
Pembiasaan menjadi pemenang, ini tinggal menunggu waktu untuk mencapai gelar juara dan piala. Tetap namanya pememang itu piala atau gelar. Proses itu penting sehingga semua bisa belajr menghargai proses dan tidak ada prestasi itu instan dan tiba-tiba datang begitu saja. Brasil yang selalu favorit dalam PD pun melakukan pembinaan dan bibit pemain yang dibina dengan baik.
Klub-klub langganan dalam apapun piala dan kejuaraannya tidak ada yang tiba-tiba demikian saja juara. M. City yang dibangun dengan mengandalkan pembelian pemain juga perlu waktu, demikian juga Chelsea. Tetap namanya pembinaan dan proses itu penting.
Apa yang dicapai timnas semua usia itu penting dan patut mendapatkan apresiasi yang selayaknya, mereka sudah berjuang dan kembali nyaris mendapatkan target mereka. Ini penting, sehingga di kemudian hari bisa menuai hasil sebagaimana harapan. Mendapatkan gelar juara dan piala itu perlu jenjang dan proses panjang.  Di regional sudah "bosan" dan tidak ada lagi lawan yang sepadan, bisa membidik kawasan yang lebih luas, Asia. Di Asia sudah mulai merasakan bahwa tidak  menjadi lumbung gol dan semua kawasan sudah bisa diharapan, mengapa tidak yakin jika menerawang PD.
Kekalahan dari Australia dan Jepang pada kelompok umur yang berbeda kemarin, memberikan bukti, timnas Indonesia ke depan bukan hanya penggembira, mulai mendapatkan perhatian bukan malah pelecehan. Iran pun bisa dikalahkan, Qatar bisa dikejar dengan defisit lima gol padahal, Jepang pun bisa diimbangi, meskipun hasil akhir berbeda.
Mulai tidak minderan, dulu tiap kali menghadapi tim dari Timteng, sudah sakit perut duluan, dalih badan atau postur lebih tinggi, besar, dan seterusnya. Toh dengan cara bermain yang pas bisa juga menahan imbang bahkan mengalahkan mereka. Dengan tim negara Timur Jauh juga mulai bisa mengadakan perlawanan. Korea Selatan pernah juga dikalahkan.
Ketinggalan bukan kiamat. Ini trend bagus. Padahal era-era dulu, ketinggalan satu gol susah berharap membalikan keadaan. Permainan menjadi kacau, kasar, dan gol demi gol sangat mungkin terjadi. Hal yang berbeda kini. Defisit lima bola saja bisa menipiskan menjadi satu saja.
Beberapa hal patut mendapatkan perhatian lebih jika mau merasakan piala dunia dan juara di level Asia dan Asean sampai bosan
Perbaikan liga. Ini persoalan mendasar yang tidak pernah usai. Bisa-bisanya suporter meninggal, pengeroyokan penonton, perangkat pertandingan. Ini karakter, bukan soal bola. Ini penyakit bangsa, perlu sinergi peran untuk mengatasi itu. Inggris nyatanya bisa tanpa adanya pagar pembatas, padahal dulu mereka terkenal paling brutal penontonnya.
Pengurus yang profesional, tahu sepak bola dengan baik, memiliki staf kepengurusan yang baik pula. Mengapa demikian, pengelola yang hanya mencari uang dan ketenaran jangan banyak diharapkan, tidak heran lahir kritik Luis Milla soal pengurus yang tidak profesional.
Kurangi main preman dan kayu bagi pejabat ataupun pengurus. Luis Mila mengeluhkan salah satunya soal gaji yang terhambat. Fahri Husaeni pernah mengalami adanya titipan dari seorang pejabat agar anaknya masuk timnas. Ada juga pengurus klub yang mengatakan kalau preman PSSi mengancam pemain baru surat permintaan pemain dibuat. Artinya klub tidak rela, pemain pun setengah hati.
Kerelaan klub untuk melepas pemain ke tim nasional pun masih harus bersitegang. Ini kembali kerelaan demi bangsa dan negara. Repotnya tim-tim tertentu harus kehilangan banyak pemain. Hal demikian tidak terdengar dari klub elit Eropa, di mana setengah pemainnya, bahkan sering lebih, memperkuat tim nasional masing-masing negara asal pemain. Â
Ternyata selain itu juga mengenai penjadwalan yang masih perlu banyak belajar. Jangan sampai ada benturan kepentingan ketika liga berjalan, Â ada agenda tim nasional. Ini jelas pengurus dan pelaksanan liga yang tidak bagus. Di Eropa tim elit sering kehilangan pemain, bahkan mereka lintas benua toh tidak ada masalah. Jelas mana yang menjadi prioritas A, B, dan boleh diabaikan.
Selama ini kecenderungan menenmukan bibit yang kemudian dibina dan berprestasi, syukur bahwa generasi dan regenerasi antarkelompok umur cukup menjanjikan kali ini, namun itu tidak cukup. Perlu pembinaan yang berjenjang dengan adanya liga kelompok umur, perhatian pemerintah melalui BUMN dan swasta untuk menjamin keberlangsungan liga dan juga keberadaan masa depan pemain perlu juga perhatian.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H