Menarik hasil penelitian UIN Jakarta yang menemukan guru beragama tertentu memiliki paham intoleran, hingga 57%. Mendiknas yang cukup sigap menanggapi bahwa perlu adanya perbaikan dalam kurikulum calon guru yang akan bekerja sama dengan Menag sebagai pemangku kebijakan mengenai kurikulum calon guru agama.
Membaca apa yang menjadi hasil penelitian, sepanjang pemahaman saya, ternyata  bukan hanya guru agama, sebagai responden, namun guru beragama. Artinya, ini tidak menjawab persoalan secara menyeluruh, sebagai sebuah upaya baguslah, namun perlu dilihat secara mendalam lagi.
Sebelum melanjutkan ulasan, ada dua kisah yang sebenarnya pernah juga menjadi ilustrasi dalam artikel lain, namun saya lupa.
Kisah satu. Ini berkaitan dengan pendidikan teologi di kampus yang berbicara secara mendalam mengenai teologi. Ke dua kampus menjalin komitmen, bahwa setiap tahun  mahasiswa semester empat akan saling bertemu dan berdiskusi. Tahun ini kampus A menjadi tuan rumah dan tahun berikut kampus B. Ketika menjadi tuan rumah memang bagus, ramah, dan bisa terjadi diskusi dan pembelajaran bersama. Berbeda kala menjadi tamu, mereka tidak datang, tidak memberikan konfirmasi, dan dihubungi tidak bisa.
Kisah kedua, ini langsung berbicara oknum guru agama dan jelas beragama. Rumahnya berhadapan dengan seminari. Ia memberikan syarat kalau lonceng kapel tidak boleh dibunyikan selain Natal dan Paskah saja. Guru ini di sekolah tidak mau bersalaman dengan guru agama dan beragama lain, padahal guru di sekolah negeri. Aneh dan lucunya, rumahnya yang juga kost-kostan menerima mahasiswa teologi Kristen.
Jika kita mau melongok ke kantor-kantor kementrian agama, belum pernah sekalipun mengucapkan selama hari raya agama selain Hari Raya Idul Fitri. Jadi intoleran ini bukan semata konsep kata, namun jelas sudah ada sejak pikiran, termasuk di mana kementrian dan jajarannya yang mengurus soal agama. Benar tidak aa urgensinya ucapan selamat ini dan itu, namun itu adalah wujud toleransi yang paling kecil dan sederhana saja tidak mampu mereka lakukan.
Hiduplah menjadi bagian kecil, bukan yang dominan. Saya paling tidak suka dengan minoritas dan mayoritas, bahasa politis penjajah yang disukai politikus minim prestasi. Jika mau demikian, akan tahu repot, ribet, dan ketika menjadi bagian yang banyak bisa empati.
Keberanian berinteraksi dan belajar agama lain. Ingat belajar sebagai pengetahuan, dan itu tidak akan pernah mengubah kadar keimanan saya kira. Masak hanya membaca pengetahuan agama lain, langsung luntur imannya. Malah menjadi pertanyaan jangan-jangan imannya memang lemah. Ketika orang hanya tahu sedikit, jangan kaget kalau merasa tahu segalanya, bahkan bisa menghakimi agama lain.
Mengurangi sikap saling curiga, isu Islamisasi dan Kristenisasi, ini produk politikus miskin prestasi, gampang memainkan hal yang sensitif. Sepanjang hal ini belum bisa dibenahi, selalu merasa orang lain akan menggoda kelompoknya, jangan harap akan ada perbaikan sikap terhadap orang lain.
Menghargai kemanusiaan bukan karena labelingnya. Entah mengapa usai 1928 dengan  Sumpah Pemuda yang begitu progresif, maju dalam banyak ide kebangsaan dan pluralis sebagai satu bangsa ini, akhri-ahhir ini malah orang menjadi jagoan untuk memilah dan memilih, bukan kelompokku dan musuh yang boleh dibinasakan. Miris, bukan hanya soal agama, juga suku, ras, dan beda pandangan politik sekalipun.
Dulu tidak demikian, biasa, cair, dan tidak akan ada orang bercanda agama dihukum sebagai penistaan, menghina, sekarang, habis masuk bui, dan demo yang berkepanjangan. Menemukan perbedaan seolah menjadi prestasi. Padahal begitu banyak persamaan, namun mengapa orang suka mencari-cari yang berbeda?
Fanatisme itu ke dalam, tidak perlu keluar. Orang sekarang cenderung fanatis ke luar, memaksakan orang sama dengan dirinya, padahal dirinya sendiri saja masih belum sepenuhnya mencerminkan hidup beriman. Kecenderungan ritual dan hapalan belum sampai penghayatan dan pengamalan agama.
Ketika hal-hal mendasar tersebut belum di atasi, kurikulum tetap saja hanya menjadi bahan mati, usai ujian ya masih tetap sama saja isi keyakinan dan otaknya. Mungkin nilai dalam transkrip A, namun perilakunya belum tentu demikian. Pendidikan masih sebatas ujian dan selesai, belum menjadi bagian utuh atas perilaku.
Pembiaraan selama paling tidak sepuluh tahun terakhir membuat orang bisa mengatakan dan menuding pihak lain sebagai musuh yang boleh dijadikan sasaran kemarahan. Liyan, menjadi gejala umum, keakuan menjadi tinggi. Jargon satu musuh terlalu banyak membuat bumerang bagi hidup bersama.
Penegakan hukum sangat lemah karena takut dominasi, gerudugan, dan cap antisesuatu, telah membuat gejala intoleran dan sikap menang sendiri makin kuat. Fenomena ini sebenarnya tidak banyak awalnya, namun karena pembiaran, merasa enak dan nyaman, ya akhirnya keterusan dan mendominasi pihak lain.
Politikus minim prestasi mencari panggung, siapapun paham siapa mereka bukan, ketika orang membutuhkan suara, mereka-mereka yang sejatinya di luar kepantasan un dirangkul. Mereka tahu kog Pancasila sebagai parameter hidup berbangsa namun apa semua demikian? Dan mereka berkepentingan untuk mendapatkan dukungan.
Sepanjang persoalan di elit, termasuk kementrian masih juga mendua, jangan salah jika akan makin menguat. Kurikulum itu hanya satu bagian kecil, yang tidak akan berdampak banyak jika dalam hidup bersama, sikap intoleran masih mendapatkan panggung dan makin kuat karena penegak hukum kuwalahan menghadapi serangan politis. Siapa mereka? Jelas paham bukan.
Ide perbaikan kurikulum memang baik dan bisa membantu untuk menyelesaikan, sebagai sebuah upaya bisa diterima. Jauh lebih penting adalah sikap. Sejak dalam pikiran sudah toleran, akan menjadi gaya hidup bersama sebagai satu saudara.
Terima kasih dan salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI