Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dahnil dan Niniek S. Dayang Potensial "Di-Ratna Sarumpaet-kan"?

19 Oktober 2018   05:00 Diperbarui: 19 Oktober 2018   06:43 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Geliat pilpres lumayan adem dengan terbogkarnya skenario penganiayaan RS yang gagal total. Mengapa demikian? Karena kubu 02 jauh lebih banyak menalukan pertahanan diri untuk bertahan terhadap tuduhan menyebarkan kebohongan, kepalsuan, dan hoax.

Hal ini sebenarnya sangat wajar karena toh rekam jejak mereka juga sudah akrab dengan hal demikian, sejak pra-2014 lampau.

Pengulangan yang seolah dinilai sukses, dan menemukan momentum dengan adanya operasi plastik Ratna Sarumpaet.  Beramai-ramai, masif, mengatakan kalau pemerintah telah gagal untuk melindungi warga negara, nenek-nenek, dan kebetulan sering sinis, ingat beda dengan kritis terhadap pemerintah.

Seolah skenario akan sukses apalagi dalam waktu yang relatif dekat pun akan pergi ke luar negeri. Jika ini sampai terbang, kasus akan berkepanjangan dan menjadi bahan empuk untuk melakukan intimidasi dan reduksi atas kepolisian dan ujung-ujungnya Jokowi. Arah yang jelas dan gamblang.

Apa daya namanya sepandai-pandainya tupai melompat, akan gawal juga. Dan skenario oleh pelaku teater kawakan pun ternyata terbongkar polisi. Kini masih saling tuding dan saling hindar siapa pelaku, siapa korban, dan siapa pendukung penyebaran khabar itu. Selain RS semua mengaku korban dan merasa dibohongi RS. RS pun masih menuduh setan. 

Fakta adalah adanya kejadian operasi plastik yang diakui dan diberitakan sebagai penganiayaan. Ini fakta yang tidak bisa disangkal lagi. Mengenai siapa yang memberitakan atau menyatakan sebagai kisah lain, baik media sosial atau media arus utama, biar polisi menegakkan hukum setegak-tegaknya, jangan dipolitisasi.

Nama-nama tenar, politikus elit yang sudah dipanggil dan memberikan kesaksian untuk mengurai kusutnya kasus ini, patut dicermati sikap mereka. Said Iqbal, diam tanpa banyak reaksi, sangat natural. Tidak membuat kehebohan dan gejolak yang berpengaruh. Pemeriksaan dan usai, sudah.

Amien Rais, sebelum datang diperiksa sudah heboh ke mana-mana, dan akhirnya malah memuji-muji kepolisian. Entah apa maksudnya, pikun, takut awalnya, atau tersandera kasusnya? Kemudian menyatakan RS adalah sampah politik.

Dua terakhir identik, tidak membuat ulah, dan juga usai biasa saja. Biasa mengaku sebagai korban kebohongan. Dan soal siapa yang membuat skenario, siapa yang menjadi produser, dan siapa yang menjadi pimpinan orkestra untuk menyebarkan dengan masif masih gelap gulita.

Patut disimak adalah, satu yang pasti, semua mngaku korban, dan pelaku tunggal yang telah mengaku sebagai pembuat hoax nasional yang sukses. Meski masih ada "setan" yang perlu diurus. Itu bukan sejenis makhluk dari neraka yang datang lho.

Posisi Ratna jelas sudah di luar kebersamaan yang ia bela selama ini, ia telah disingkirkan dengan telak dan tidak ada pembelaan satu katapun dari rekan-rekannya selama ini. jangan kaget bahkan ada yang menyebutnya sebagai sampah. Coba ke mana yang kemarin konferensi pers. Ke mana mereka yang kemarin telah menuduh pemerintah dan polisi?

Mereka itu semua sedang mencuci tangan dan merasa tidak bersalah, kesalahan hanya pada RS saja. Lokalisasi persoalan. Kesalahan ditimpakan semakin sedikit orang, habis manis sepah ditendang kali ini makin jelas.

Ternyata pengembangan polisi tidak masuk dalam bagian utuh skenario yang ternyata gagal total itu. Mereka bersikap sangat reaktif dan pokoknya yang salah adalah RS, semua adalah korban. Mengenai gegabah, grusa-grusu, tidak cermat, tidak sempat mereka perhatikan. Ada nama ini dipanggil sudah panik, bingung, dan akhirnya membuat pernyataan pembelaan diri yang berlebihan dan tidak nyambung, kadang-kadang.

Pembelaan yang kadang lucu, aneh, dan naif ketika sudah kepepet, mengulik kisah lama dan menuding orang-orang tersebut sebaagi "agen ganda", penyusup, dan seterusnya. RS dan NSD telah menerima label itu.  Sah-sah saja, yang jelas nantinya di pengadilan bagaimana alur itu harus dibuka dengan jelas dan transparan.

Salah satu reaksi yang seolah normal, oleh Sandi sebagai calon wakil presiden menyatakan kalau telah menyiapkan 100 juru bicara untuk "menggantikan Dahnil dan Niniek S Deyang" yang telah dipanggil kepolisian. Alasan yang dikemukakan agar mereka lebih fokus menyelesaikan masalah dan taat hukum.

Pernyataan tersebut bisa mengarah pada "pelepasan" kedua  orang itu dari badan pemenangan nasional. Sangat miris jika melihat model pendekatannya yang mudah mendepak orang terdekat yang dirasa merugikan.

Posisi Dahnil juga sangat rapuh memang, reputasinya masih kalah jauh dengan banyak kader lain yang bisa diorbitkan dan siap menggantikan. Keberadaannya selama ini juga lebih cenderung membuang-buang keyakinan untuk 02. Fokus hanya mengulik pemerintah yang sudah banyak dilakukan banyak pihak. Tidak ada yang baru, jaringan juga belum kuat. Membuang itu tidak berdampak banyak.

Ninik S Deyang. Posisi yang sama riskannya dengan Ratna Sarumpaet, karena menjadi orang yang termasuk paling awal dan membuat Prabowo "terseret" dalam permainan ini. sangat mungkin nama ini juga "dibuang" dan dianggap sampah nantinya oleh mereka.

Melihat beberapa hal tersebut, layak dilihat tipikal relasional, kepemimpinan, dan kemanusiaan yang menonjol;

Pertama, yang utama adalah kepentingan. Ketika menguntungkan adalah teman, namun jangan harap saat mengecewakan. Tidak ada lagi teman dan rekan, musuh, bahkan sampah telah terucap. Apa iya model demikian itu pemimpin yang patut menjadi pemuka bangsa?

Kedua, tidak ada sikap bertanggung jawab. Cuci tangan dan menggelorakan model permainan korban. Merasa diri korban dan orang lainlah penyebabnya. Khas pribadi dan kelompok yang tidak bertanggung jawab.

Ketiga, pribadi dan kelompok yang mengandalkan emosional semata, politik itu rasional dan hitung-hitungan cermat. 

Ya pantas saja kalau gagal terus gagal terus, karena perhitungan yang harus mereka lakukan itu tidak ada. Mengandalkan emosional dan reaksional yang jelas membuang potensi pemilih yang malah makin maaf muak melihat perilaku mereka.

Keempat, kebiasaan membuat isu dan menjawab fenomena asal dan abai fakta dan data, jadi mereka sendiri malah bingung mana yang benar dan mana yang salah. Ketika kesalahan dirasa menguntungkan pun diyakini kebenarannya. 

Sebaliknya, ketika kebenaran dinilai tidak membawa manfaat bagi mereka, disanggah dengan cara-cara konyol.

Rakyat sudah cerdas, media sudah merambah ke mana-mana, apa iya akan disuguhi calon pemimpin yang selalu saja gagap dalam bersikap, salah dalam menilai kejadian, dan menebarkan kecemasan dan ketakutan semata. 

Kebersamaan dalam pemuja yang sering alpa akan data, menyukai sensasi daripada prestasi, gelap mata akan kebenaran, dan memilih masuk jurang bersama-sama di dalam kebencian yang tidak mendasar.

Esensi demokrasi itu pesta, kegembiraan, dan kebahagiaan rakyat dan bangsa itu hendak dipadamkan demi ambisi pribadi dan kelompok. 

Sah dan demokratis mengejar kursi, namun jangan lupa bahwa etika, kebenaran, dan keutamaan dalam berpolitik itu juga penting, bahkan fundamental.

Ketika orang meninggalkan rekannya yang salah, menendang rekannya yang dinilai gagal, apakah ini seorang pemimpin yang sejati? 

Justru pemimpin sejati akan mendampingi orang yang salah dan gagal itu menemukan jalan kebenaran dan berbalik arah menuju kebenaran.

Terima kasih dan salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun