Ya pantas saja kalau gagal terus gagal terus, karena perhitungan yang harus mereka lakukan itu tidak ada. Mengandalkan emosional dan reaksional yang jelas membuang potensi pemilih yang malah makin maaf muak melihat perilaku mereka.
Keempat, kebiasaan membuat isu dan menjawab fenomena asal dan abai fakta dan data, jadi mereka sendiri malah bingung mana yang benar dan mana yang salah. Ketika kesalahan dirasa menguntungkan pun diyakini kebenarannya.Â
Sebaliknya, ketika kebenaran dinilai tidak membawa manfaat bagi mereka, disanggah dengan cara-cara konyol.
Rakyat sudah cerdas, media sudah merambah ke mana-mana, apa iya akan disuguhi calon pemimpin yang selalu saja gagap dalam bersikap, salah dalam menilai kejadian, dan menebarkan kecemasan dan ketakutan semata.Â
Kebersamaan dalam pemuja yang sering alpa akan data, menyukai sensasi daripada prestasi, gelap mata akan kebenaran, dan memilih masuk jurang bersama-sama di dalam kebencian yang tidak mendasar.
Esensi demokrasi itu pesta, kegembiraan, dan kebahagiaan rakyat dan bangsa itu hendak dipadamkan demi ambisi pribadi dan kelompok.Â
Sah dan demokratis mengejar kursi, namun jangan lupa bahwa etika, kebenaran, dan keutamaan dalam berpolitik itu juga penting, bahkan fundamental.
Ketika orang meninggalkan rekannya yang salah, menendang rekannya yang dinilai gagal, apakah ini seorang pemimpin yang sejati?Â
Justru pemimpin sejati akan mendampingi orang yang salah dan gagal itu menemukan jalan kebenaran dan berbalik arah menuju kebenaran.
Terima kasih dan salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H