Pemilu 2019 menjelang, tensi politik makin menghangat, potensi makin panas. Esensi pesta demokrasi nampaknya malah menepi. Berkat terselubung dengan kisah ratna Sarumpaet memang membantu tensi menjadi lebih rendah, tanpa kisah tersebut keadaan jauh lebih panas sangat mungkin tercipta.
Posisi kubu yang menglaim sebagai oposisi sibuk menangkis kemaluan mereka yang telanjur kepedean eh ternyata ketahuan kalau palsu dan bohong. Hoax lagi jika mengaku tidak terdampak perilaku ugal-ugalan mereka sendiri itu. Energi mereka untuk memroduksi isu-isu yang panas sedikit mereda.
Cukup menarik jika menyimak dua kandidat ini di dalam menyikapi orang-orang terdekat, pernah bekerja sama, dan menjadi bagian terdekat di dalam kapasitas masing-masing. Dari sana dapat dipetik beberapa pelajaran cukup berharga.
Jokowi dan Para Mantan Pembantu-Menteri
Beberapa menteri yang pernah membantu presiden hanya dua yang tetap di belakang Jokowi, Marwan Jafar dan Andi Widjajanto yang tetap di barisan pendukung Jokowi. Mereka berdua berlaku dengan relatif tetap baik. Namun banyak yang menjadi barisan oposisi dan jelas barisan sakit hati yang sangat bisa dimengerti ketika menjadi pengkritik paling keras dan tajam
Ada Rizal Ramli yang tidak pernah diam menyerang pemerintah atau minimal kabinet yang katanya ini dan itu. Memang terakhir menyebut Mas Jokowi dan memuji ketika menanggapi pidato dalam pertemuan IMF-WB. Hanya itu, lainnya lontaran kritik bahkan kadang tidak berdasar.
Sudirman Said, jelas kebersamaan di barisan yang berbeda. Mengambil sikap frontal dan pilihan kebersamaan yang jelas berseberangan. Nama yang sama Anies Baswedan, jauh lebih keras dalam bersikap. Bagaimana perilakunya di Jakarta. Sikap, program, dan seterusnya ia "menantang" Jokowi, memang mengendur menjelang Asian Games dan makin melunak kini.
Terbaru menteri yang terdepak padahal merasa kerja keras soal sertifikat. Jauh lebih kasar kritikannya. Toh masih wajar namanya juga kecewa dan sakit hati. Lupa bahwa politik hal demikian itu sangat biasa.
Apa yang mereka lakukan itu membebani presiden, kadang juga Jokowi sebagai pribadi. Namun Jokowi tetap saja diam seribu bahasa, termasuk alasan mereka dicopot. Padahal SBY demi nama dirinya ia menyatakan tidak memilih menteri karena apa dikatakan. Tidak tahan menaha tekanan kerja di kabinet, eh sekarang jadi menteri juga baik-baik saja.
Padahal jika Jokowi mengatakan, misalnya si A hanya pinter berwacana, si B diganti karena tidak bisa bekerja sama, si C dicopot karena asyik dengan program dan visi pribadi, si D digantikan dengan pribadi lain karena potensial berlaku curang, dan seterusnya bisa membuat mereka terdiam.
Jokowi diam saja, pemimpin yang tidak pernah mempermalukan anak buah yang pernah bekerja sama dengannya. Pemimpin yang menjadi diri dengan menjaga harga diri anak buahnya. Meskipun kebaikan ini disalahgunakan mereka yang memang  tidak tahu diri itu.
Mereka paham Jokowi tidak akan pernah ribut dan ribet dengan kualitas mereka, mereka yang tidak tahu diri itu yang malah trunyak. Konsekuensi atas pilihan pemimpin sejati. Tidak mengurangi kualitas pribadinya juga.
Prabowo dengan Rekam Jejaknya
Agak sedikit berbeda, mengaitkan kebersamaan dengan yang lain, karena Prabowo belum pernah memimpin jabatan publik, namun dalam banyak kasus sikap Prabowo dan kawan-kawan yang bisa terbaca. Jadi sedikit lebih luas jika dibandingkan dengan Jokowi.
Ratna Sarumpaet jelas korban terakhir. Bagaimana mereka, termasuk Prabowo tidak ada yang "mengingat"-nya lagi. Mengunjungi saja tidak, malah ramai---ramai mengaku menjadi korban atas kebohongan RS. RS menjadi "pelaku" tunggal atas kebodohan mereka bersama-sama. Bagaimana tidak, jika memang korban itu tidak serta merta konpres, menunggu cek dan cek lagi sehingga tahu kebenaran dengan baik.
Malah rekan di dalam menyuarakan penganiayaan menyatakan RS sudah menjadi sampah, tidak perlu lagi dikunjungi. Langsung begitu saja sikapnya, jelas mau cuci tangan karena telah "gagal" dalam misi, coba kalau sukses?
Merunut ke belakang, bagaimana mereka bersama-sama memroduksi kebencian, hoax, dan kepalsuan, ada Saracen, Jonru, Buni Yani, dan kisah-kisah senada. Pernahkan mereka, terutama Prabowo ada untuk mereka. Paling tidak mau memberikan dukungan. Jelas kalau pembelaan hanya melalui anak buahnya demi kepentingan Prabowo bukan yang sedang menghadapi kasus hukum.
Ke mana Prabowo dan kawan-kawan ketika Rizieq Shihab menghadapi bertubi-tubi persoalan hukum? Apakah ada pembelaan secara cukup? Paling-paling via medsos oleh anak buahnya. Dia sendiri?
Jika merunut jauh ke belakang, konon tentara atau militer itu tidak ada prajurit salah, ya ada komandan yang salah. Namun anak buahnya disidang, dibui, ia malah ke Jordania. Ini khusus sikap kepemimpinan Prabowo, bukan kelompok mereka, toh sangat identik. Anak buahnya ada di tahanan, ia bisnis di Timur Tengah. Apapun alibinya, katanya bersih oleh apapun itu, toh tim mawar ada di dalam komandonya.
Habis manis sepah dibuang menjadi inti kepemimpinan ala Prabowo dan kawan-kawan. Satu juga pendekatan Jokowi yang tidak menyatakan satu kata saja pada anak buah yang ia ganti, padahal sikapnya menunjukkan yang tidak patut, tetap diam. Jelas bukan kualitasnya dan pembedanya?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H