Kedua, keberadaan Anies yang "merusak" Jakarta, parnertnya yang malah mau naik level menjadi wakil presiden dengan torehan jelas di depan mata, Jakarta yang mundur itu. Ini jelas sangat tampak. Apalagi kemenangan yang main kayu, politik rasialis, kasar, dan vulgar jelas sangat terpampang, Jakarta tentu akan belajar, mosok Indonesia mau diundur lagi ke zaman batu.
Kebersamaan dalam tim besar pun bekerja dengan cukup baik. Relatif jauh lebih baik di bandingkan penantang, ketika lebih banyak kisruh, saling serang dan tuding, dari jenderal kardus hingga jenderal baper. Dari operasi plastik hingga pemalas. Susah mau mengambil alih kendali poin ini.
Ternyata anak dan keluarga pun sangat memberikan kontribusi besar. Coba bayangkan dua anak menjadi bakul martabak dan pisang. Bandingkan sebelah yang kedua anaknya jadi politikus, satunya tidak terdengar padahal ketua fraksi. Satunya ditawarkan seperti asongan menawarkan cangcimen, eh tetap saja tidak laku. Coba bayangkan kalau begitu dilakukan Jokowi, apalagi yang anak-anaknya semua nyaleg dari partai yang sama itu?
Lumayan pilihan yang diremehkan sebagai tukang kayu itu dalam mendidik anak-anaknya, ternyata relatif aman dan itu jelas poin baik yang menjanjikan. Dua anak yang tidak jadi beban dan ngribeti, jika mereka dipaksakan atau memaksa di dunia pemerintahan dan politik, bisa kacau dan menjadi andalan untuk makin banyak tuduhan miring berembus.
Aku ra papa, ungkapan yang benar-benar dihayati, dijalani, bukan semata diucapkan. Tidak dijadikan beban di dalam hidup, apalagi menjadi baper, curhat, dan jadi ajang balas dendam. Syukurlah masih demikian, setalh empat tahun berjalan.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H