Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rachel Maryam, Politikus,dan Kepalsuan

8 Oktober 2018   14:14 Diperbarui: 8 Oktober 2018   14:11 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menarik hari-hari ini, semua media baik arus utama, elektronik, cetak, apalagi sosial sedang gegap gempita soal kepalsuan penganiayaan yang diaku oleh Ratna Sarumpaet. Keadaan bencana Palu-Donggala menepi, hingar bingar Asian Para Games kalah gemes, lha kampanye pilpres saja jadi sepi, semua tertuju pada kisah RS dengan segala hal yang melingkupinya.

Berbicara kepalsuan dan tampilan yang bisa menipu sejatinya, kita memang sangat gemar demikian. Dulu era komedi Warkop DKI, almarhum Dono, Kasino, dan Om Indro berjaya, muka mereka bertiga standar, nah demi menarik penonton, bioskop kala itu berjaya, mereka menggandeng artis untuk pemanis dengan tampilan yang begitulah, meskipun dipaksakan toh tetap dalam konteks, pantai, kolam renang, dan sejenisnya.

Para maling berdasi, tiba-tiba alim, banyak mengutip ayat-ayat suci, dan jelas berpakaian tuntutan agama.  Yang dulunya bicara dengan emosional, mulai menampilkan wajah memelas, yang dulunya pakaian biasa berubah menjadi agamis, apakah mengubah kepribadiannya? Lihat saja ketika sidak lapas apa yang diketemukan. Itu adalah jawaban.

Salah satu yang terlibat awali tersebarnya adanya penganiayaan aktivis yang kebetulan tim ses pasangan 02, Rachel Maryam yang membawa khabar ini ke ranah publik. Cukup menarik apa yang ia sampaikan ketika RS mengakui  bahwa ada "setan" yang membisikinya sehingga ia berbohong. Soal "setan" lain ulasan. RM meminta maaf dan mengaku menjadi korban atas kebohongan rekannya, yang ia beri simpati.

Khas model politikus bangsa ini, mengaku salah dan meminta maaf tapi dengan embel-embel, ia adalah korban. Ini soal pertanggungjawaban moral, bukan masalah siapa lebih benar dan siapa lebih berperan dalam konteks yang buruk. Sikap bertanggung jawab bahwa ia ceroboh, gegabah, dan tidak berpikir panjang. Ini adalah soal kepemimpinan.

Usai dari sana, beramai-ramai kelompok yang sebarisan memberikan pernyataan dan tampilan visual yang relatif sama. Mengutuk kekerasan pada perempuan, tua lagi, dan ini yang penting, polisi dan pemerintah dituntut ini dan itu. Dalam kadar tertentu bahkan ada ultimatum.

Usai pengakuan Ratna Sarumpaet, semua serempat, seolah orkestra mengaku sebagai korban dan mengutuk kebohongan itu. RS sendirian yang dulunya didukung dengan sekuat tenaga. Pengakuan dengan doa, pembuktian dengan segala daya upaya, bahwa memang pemerintah abai akan keselamatan anak bangsa. Entah jadinya kalau sudah sampai luar negeri entah di mana baru ketahuan apa yang terjadi itu.

Kembali jadi ingat kisah lama RM, paling tidak ada dua kejadian lama, yang bisa menjadi pembelajaran, di mana RM bersikap dan  bertindak. Pertama kunjungan atau jalan-jalan ke Paris. Ia berangkat bersama keluarga besar, nenek dan ibu yang ia akui sudah tua. Perlu adanya sopir dan armada yang cukup bagi mereka berlima. Ia menghubungi KBRI.

Kejadian 2016 ini masih sangat banyak bisa ditemukan via Mbah Gugle. Kembali ya pokoknya tidak bersalah dan KBRI dimintai tolong sebagai anak bangsa untuk membantu mengusahakan itu di atas atas biaya dari dirinya. Pengakuannya. Soal versi lain bisa dicari di sana.

Kisah kedua komentar soal kegagalan pemerintah yang fokus membangun jalan tol ia katakan rakyat tidak kenyang makan aspal. Ternyata hal ini terbantahkan dalam data dan fakta, di mana ada saudara yang meninggal  di Jawa Barat harus dibawa pulang untuk dimakamkan di Jawa Tengah. Hanya dalam enam jam, karena jalan tol, dulu bisa delapan hingga 10 jam perjalanan. Artinya jalan bukan hanya soal makan namun juga soal kelancaran distribusi barang dan jasa.

Dengan kejadian ketiga kemarin, ini bukan soal menjadi korban namun memang maaf kemampuan mencerna peristiwa patut mendapatkan perhatian bersama. Miris ketika politikus level elit namun pola pikirnya semata emosional, sempit, berkaitan dengan kepentingan, dan menyembunyikan data dan fakta yang  lebih bermanfaat karena mengganggu kepentingannya.

Jadi berpikir, kalau melihat reputasi, sepak terjang, dan rekam jejak di dalam koalisi 02 kog rasa-rasanya tidak jauh dari yang namanya rekayasa, nanti kalau ketahuan ngeles, khilaf, minta maaf. Padahal jika orang lain yang melakukan akan dilaporkan sebagai penistaan, pencemaran nama baik, dan fitnah. Kalau kubu mereka maaf dan khilaf cukup.

Bagaimana koalisi yang dibangun dengan model demkian bisa diberi kepercayaan untuk mengelola bangsa yang demikian besar dan majemuk ini? Jangan lah mengaitkan dengan spiritualitas ketika mau meminta maaf dan memaafkan, namun hanya sebatas kedok, dan atribut di dalam menutupi  perilaku jahat dan buruk.

Ketika mabuk hoax dan kepalsuan, mereka sendiri bingung mana yang mau diikuti. Mengapa? Karena saking banyaknya info yang tidak jelas, dari mereka untuk mereka, dan dikunyah sendiri dalam kondisi emosional. Jangan kaget mereka ppanik dan itu bisa menjadi blunder yang tidak karuan sulitnya diprediksi.

Bangsa ini bangsa besar, janganlah dikorbankan hanya karena keinginan keuasaan yang tidak dibarengi dengan kemauan kerja keras. Mengapa mengusung kepalsuan? Ya karena memang tidak mampu menyajikan kesejatian.

Kepalsuan yang dipandangnya elok yang berbau-bau agama. Lihat lagi-lagi dispiritualkan apa yang awalnya jahat itu. Hanya kuasa jahat yang bisa berlaku demikian. Apa bedanya serigala berbulu domba jika pembohongan ditutupi dengan mengedepankan maafnya?

Benar bahwa maaf dan pemberian maaf itu pribadi besar, namun jangan lupa bahwa mengapa ada permintaan maaf itu juga jauh lebih penting. Jangan sampai lupa bangga memaafkan namun pembuat kebohongannya terlupakan.

Sikap kritis itu penting, logis itu penting, sehingga orang tidak melupakan yang esensial. Sering kita dikelabui dengan hal-hal yang demikian. Pakaian agamis belum  menjamin perilakunya agamis, pun permintaan maaf belum tentu mengubah tabiat dasar pelaku itu.

Permohonan maaf yang berdasar jiwa besar itu diikuti perubahan sikap, balik arah, bukan kembali mengulangi dan kemudian mengaku khilaf dan berulang-ulang. Itu bukan khilaf namun berkedok khilaf karena kepepet.

Apa bisa dipercaya keberadaan  kelompok penyuka kepalsuan demikian? Kebohongan dikemas dan menuding pihak lain sebagai pelaku, hanya demi menutupi kesalahan sendiri.

Berjiwa besar itu bertanggung jawab atas perilaku sendiri, tidak menimpakan masalah pada pihak lain dan berlaku seolah korban terus menerus. Apalagi meninggalkan teman atas nama karena telah membohonginya.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun