Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rachel Maryam, Politikus,dan Kepalsuan

8 Oktober 2018   14:14 Diperbarui: 8 Oktober 2018   14:11 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jadi berpikir, kalau melihat reputasi, sepak terjang, dan rekam jejak di dalam koalisi 02 kog rasa-rasanya tidak jauh dari yang namanya rekayasa, nanti kalau ketahuan ngeles, khilaf, minta maaf. Padahal jika orang lain yang melakukan akan dilaporkan sebagai penistaan, pencemaran nama baik, dan fitnah. Kalau kubu mereka maaf dan khilaf cukup.

Bagaimana koalisi yang dibangun dengan model demkian bisa diberi kepercayaan untuk mengelola bangsa yang demikian besar dan majemuk ini? Jangan lah mengaitkan dengan spiritualitas ketika mau meminta maaf dan memaafkan, namun hanya sebatas kedok, dan atribut di dalam menutupi  perilaku jahat dan buruk.

Ketika mabuk hoax dan kepalsuan, mereka sendiri bingung mana yang mau diikuti. Mengapa? Karena saking banyaknya info yang tidak jelas, dari mereka untuk mereka, dan dikunyah sendiri dalam kondisi emosional. Jangan kaget mereka ppanik dan itu bisa menjadi blunder yang tidak karuan sulitnya diprediksi.

Bangsa ini bangsa besar, janganlah dikorbankan hanya karena keinginan keuasaan yang tidak dibarengi dengan kemauan kerja keras. Mengapa mengusung kepalsuan? Ya karena memang tidak mampu menyajikan kesejatian.

Kepalsuan yang dipandangnya elok yang berbau-bau agama. Lihat lagi-lagi dispiritualkan apa yang awalnya jahat itu. Hanya kuasa jahat yang bisa berlaku demikian. Apa bedanya serigala berbulu domba jika pembohongan ditutupi dengan mengedepankan maafnya?

Benar bahwa maaf dan pemberian maaf itu pribadi besar, namun jangan lupa bahwa mengapa ada permintaan maaf itu juga jauh lebih penting. Jangan sampai lupa bangga memaafkan namun pembuat kebohongannya terlupakan.

Sikap kritis itu penting, logis itu penting, sehingga orang tidak melupakan yang esensial. Sering kita dikelabui dengan hal-hal yang demikian. Pakaian agamis belum  menjamin perilakunya agamis, pun permintaan maaf belum tentu mengubah tabiat dasar pelaku itu.

Permohonan maaf yang berdasar jiwa besar itu diikuti perubahan sikap, balik arah, bukan kembali mengulangi dan kemudian mengaku khilaf dan berulang-ulang. Itu bukan khilaf namun berkedok khilaf karena kepepet.

Apa bisa dipercaya keberadaan  kelompok penyuka kepalsuan demikian? Kebohongan dikemas dan menuding pihak lain sebagai pelaku, hanya demi menutupi kesalahan sendiri.

Berjiwa besar itu bertanggung jawab atas perilaku sendiri, tidak menimpakan masalah pada pihak lain dan berlaku seolah korban terus menerus. Apalagi meninggalkan teman atas nama karena telah membohonginya.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun