Melihat perilaku SBY dalam memerintah dan berpolitik, cukup menarik untuk diulas, terutama dalam merebut panggung yang akan hilang. Perilaku nylampar, orang melaju ke depan, ia ke samping, sehingga memotong arus. Itu namanya nylampar. Ketika orang berbicara angin, ia mengatakan tumbuhan, kadang menghibur, suatu saat ya bosan juga.
Usai kesalahannya memutuskan AHY pensiun dini dan maju dalam pilkada DKI, dan parah kekalahannya, ia berupaya untuk terus membawa ke posisi lebih tinggi lagi, dan tersisih lagi. Perilakunya sengaja nylampar itu untuk mendapatkan panggung, perhatian, dan orang kembali menengok kepadanya.
Contoh-contoh itu jelas terpampang dengan jelas bagaimana Pak Beye menjawab, merespons, dan menyikapi kondisi politik terbaru. Selalu dikaitkan dengan capaiannya sendiri, padahal semua juga tahu kog, jauh lebih buruk ia, namun seolah paling sukses dan hebat. Padahal tidak harus demikian.
Prestasi itu akan diingat, akan dicatat oleh sejarah, tidak akan bisa diambil alih, diakali, atau disembunyikan. Ingat bagaimana masifnya pembungkaman soal pemikiran, buku, dan pembicaraan Sukarno, toh tetap harum. Apalagi kini dengan kebebasan berbicara, berkumpul, dan masih dilengkapi rekaman yang susah dihilangkan, Pak Beye tidak perlu galau, takut, dan cemas sebenarnya.
Semua orang itu pasti menjadi dewasa, tua, dan lebih besar dari hari ke hari, nah apa yang membuat gede, dewasa, dan tua itu yang membedakan. Apakah hanya sekadar nasi atau makan saja, atu juga dengan pengalaman. Maka ada yang badannya sih gede, usai tua, namun perilaku masih kanak-kanak, ngambekan, tantrum, dan merasa dunia berlaku tidak adil. Apa iya masalah ada di luar?
Beberapa waktu lalu, peserta pemilu baik pileg dan pilpres mengadakan deklarasi damai. Seluruh peserta pemilu, untuk pileg, diwakili pengurus teras parpol, dan didahului oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden. Demokrat sebagai peserta undian pileg no 14 ditempatkan nomer tiga dalam arak-arakan, dengan pertimbangan toh pernah menjadi presiden, Mega juga tidak protes. Tiba-tiba marah dan mengatakan tidak adil dan meninggalkan  kegiatan. Apa iya hanya Demokrat saja yang merasa mendapatkan ketidakadilan?
Ketidakadilan. Orang tidak akan pernah mampu menyenangkan semua pihak. Ketika ada yang tidak suka dinilai berperilaku tidak adil, yang perlu ditelaah adalah diri sendiri dulu. Dunia harus mengerti dirinya, tidak bisa, dunia harus dimengerti untuk bisa menyelami dan hidup tenang di arus dunia.
Ada hal-hal yang diluar kendali, tidak akan mampu mengendalikan semua hal di sana. Ketika yang keluar adalah ketidakadilan, jelas itu sifat kanak-kanak yang terbungkus  badan gede, (baca tua).
Ngambek, lagi dan lagi ini, sifat anak kecil, mengatasi perasaan tidak nyamannya orang dewasa itu bisa mengokomunikasikannya, bukan berperilaku ngambeg, karena mengapa? Anak-anak masih terbatas bahasa komunikasinya. Beda dengan orang dewasa.
Apa yang mau dicapai dengan sikap demikian?
Perhatian dan tolehan dari yang dimintai perhatian itu. Ini adalah anak menangis keras, meraung-raung karena ibunya asyik nonton sinetron dan si bapak asyik nonton live streaming bola. Anak sendirian dan menangis keras tanpa alasan pasti. Satu alasannya mencari atau meminta perhatian.
Tidak perlu kaget dan heran, ketika Pak Beye mengatakan yang berkontes Pak Jokowi dan Pak Prabowo mengapa saya yang dihantam. Ini kan hanya mau membawa peran dia yang sama, bahkan lebih, lho aku juga ikut di antara kalian. Pola pengulangan ketika "mainannya" hilang, akan merengek dan menilai pihak lain yang merusakan atau menghilangkan, khas dunia anak.
Ketika AHY tersisih dengan sadis pada menit terakhir dalam pemilihan bakal calon wapres dua kubu, melalui orang kepercayaannya, langsung ramai dengan jenderal kardus. Mengapa demikian? Jelas tidak siap "kehilangan mainan", diperlakukan tidak adil karena uang, dan merasa bahwa itu merusak apapun yang ada.
Dalam pidato politik  ulang tahun Demokrat, yang lagi-lagi ia rayakan sendirian itu, adalah bentuk ungkapan ngambek, tantrum, yang syukur tidak ditanggapi dengan baik oleh para "orang dewasa" di sekelilingnya. Patut kalau meradang. Panggung yang terenggut itu makin porak poranda.
Puncaknya jelas dalam deklarasi damai, yang mau tidak mau harus datang dan menjadi momentum menunjukkan bahwa Demokrat dan SBY masih yang terdepan. Ia tahu persis itu hanya ilusi, bayangan kebesaran sendiri, yang abai realitas.
Ketika melihat bendera dan atribut parpolnya masih senyum-senyum, bukan pelanggaran, ketika ada atrubut rival mulai panas, ketika ada seruan, tidak tahan lagi dan meradang, pergi dari gelanggang. Apakah ini membuatnya makin besar?
Jelas tidak. Tidak akan bisa membangun dengan reruntuhan yang tidak dibersihkan. Perlu kesakitan dan proses untuk bisa menjadi lebih kuat dan kokoh lagi, dan itu sakit. Ternyata "anak-anak" tidak suka sakit. Anak lebih senang ditiup dan dikipasi, seolah-olah nyaman, namun tidak ada kesembuhan di sana.
Demokrat itu partai besar, pernah besar, salah kelola dan dipimpin pemimpin kerdil, jangan salah jika akan makin mengecil. Pasti ke depan yang akan lebih menguar tuduhan pihak lain yang membuat Demokrat hanya menjadi masa lalu.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H