Lebih suka memerintah sehingga jelas berjarak, berbeda dengan kepemimpinan partispatif, di mana tidak berjarak, ada usul, masukan, dan diskusi yang saling terbuka. Susah jika sejak pendidikan yang ada adalah perintah tanpa boleh menyatakan pendapat apalagi membantah. Yang ada jelas hirarkhis birokratis kembali mencuat.
Pilihan tak berjarak itu memang mengandung  konsekuensi yang tidak mudah. Biasanya akan cenderung gaduh, karena belum terbiasa. Ingat eforia reformasi belum usai. Sikap eforia masih kuat di mana orang ingin bersuara dan berpendapat namun abai akan batasan yang patut dan tidak. Hal yang wajar saja.
Pemimpin yang panjang sabar dan bukan baperan, di mana bisa saja sudah dilakukan hanya karena tidak memperhatikan, masih saja dikatakan sebagai kegagalan dan tidak peduli. Hal yang lagi-lagi lumrah dna wajar karena namanya juga keterbukaan dan partisipatif itu. Ide dinyatakan tanpa melihat keseluruhannya terlebih dahulu.
Memilih untuk melibatkan sehingga konsekuensinya adalah banyaknya ide dan gagasan. Nah di sini sering tidak mudah pada akhirnya. Menentukan skala prioritas. Mana yang mau didahulukan, mana yang bisa ditunda. Semua orang meminta prioritas. Sangat mungkin terjadi kekecewaan.
Namun sangat besar keuntungan dalam jangka panjang.
Keterbukaan dan tak berjarak orang berani menyatakan apapun tanpa takut hilang atau dihilangkan. Mengenal dengan baik siapa pemimpinnya. Mana yang mau bekerja atau hanya ingin berkuasa. Ini justru kekuatan yang penting dan sangat besar manfaatnya. Â Permulaan yang dimulai oleh Jokowi dengan blusukan.
Pun Jokowi mengawali dengan model pendekatan yang sama ketika perpolitikan makin memanas. Pilihan untuk datang, hadir, dan mau sowan, menjadi pembeda. Bagaimana riuh rendahnya KMP dan KIH, toh bisa terselesaikan dan bangsa dan negara tidak menjadi korban lebih lama  lagi. Coba jika menggunakan menang-menangan, tidak akan bisa selesai masalah itu.
Upaya dan model kepemimpinan dan politik yang cukup berbeda ini diawali orang yang bukan siapa-siapa, apa iya, mau dikembalikan ke gaya lama, gaya militeristik, gaya feodal yang berjarak, antara priyayi dan kawula, sendika dhawuh saja atas apapun yang dinyatakan pemimpin.
Harapan yang mulai bersemi, yang wajar ya lanjut, bukan malah terpenggal. Pendekatan model berbeda dan memberikan gambaran jelas dan lebih terang akan masa depan lebih baik. Memilih pemimpin yang memberikan akses untuk kepemimpinan terbuka dan partisipatif.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H