Seorang politikus tentunya pengin pensiun dengan damai, tenang, dan bahagia, menikmati capaiannya selama ini. Apalagi jika sudah sampai puncak sebagai pimpinan seturut level masing-masing. Kalau taraf desa jadi kepala desa tentu akan bahagia jika ada yang menyapa Pak Manten nyuwun pangestunipun badhe wonten mantenan....dan seterusnya.
Menjadi sesepuh atau penasihat sisi spiritual. Kebanggaan bukan lagi karena kekuasaan, namun menjadi rujukan dan tempat lingkungannya mencari nasihat dan kekuatan secara spiritual. Jangan dikira itu mudah, banyak orang yang kata orang sono, post power syndrome. Masih merasa berkuasa, menjadi perasa dan menilai dilupakan orang, dan banyak perilaku yang  tidak disadarinya.
Merana tentu banyak sebab, karena PPS atau karena memang memilih sendiri untuk demikian. bagaimana tidak, ketika seharusnya sudah melepaskan banyak jabatan dan struktural, namun masih mau mengendalikan organisasi yang malah seperti partai masa lampau. Anak buah yang kinerja dan perilakunya ugal-ugalan, kaderisasi yang tidak berjalan sebagaimana kehendaknya, dan banyak hal yang sebenarnya di luar kendalinya, namun mau dikendalikan sendiri.
Coba bayangkan bagaimana jika anak buahnya, orang yang ia percayai menjadi pembantunya, malah sedang "bertikai" karena dicurigai ngembat ribuan item barang dari rumah dinasnya. Ini jauh lebih menyesakan daripada kader terbaiknya satu demi satu antri di kantor KPK dan masuk ke Cipinang atau Sukamiskin.
Banyak temannya, hampir semua ketua umum partai mengalami, lha kalau kasus  ngemplang barang kan baru kali ini. jauh lebih nyesek daripada bintang iklan katakan tidak malah melakukan itu.
Padahal dari daerah-daerah yang selama ini begitu loyal, begitu mendukung apapun yang beliau katakan, kini satu demi satu malah meninggalkannya dan mendukung pihak yang tidak ia setujui. Seolah silet mengiris satu demi satu kulit yang mulai mengeriput itu. Pak Dhe Karwo yang ya gadang-gadang hingga bertahap-tahap saat dituntut karena adanya dugaan kecurangan. Di ujung jabatannya memilih jalan yang berbeda. Padahal itu tumpah darahnya, darah lumbung untuk kedua putera.
TGB menyusul dan menyatakan siap kalau dikeluarkan dari partai sekalipun, luka masih belum kering benar, di susul berita dari Lukas Enembe. Lagi-lagi cukup kuat suara dari sana. Eh kader baru yang telah diterima dengan baik malah juga menyatakan tidak sepakat dengan pilihannya. Tidak demikian signifikan memang Demiz, namun tenar dan cukup menjanjikan suara. Ini pukulan telak yang amat sangat, mau berteriak tentu malu dan itu tidak akan mungkin dilakukan.
Apalagi perilaku Andi Arief yang emosional mengatakan salah satu kandidat wapres menggunakan kekuatan uang untuk mengubah peta koalisi dan jabatan. Hiruk pikuk yang beliau diamkan sambil duduk anteng memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Ingat beliau terkenal sangat hati-hati, cermat, dan penuh kalkulasi matang untuk menentukan sikap politiknya.
Apa yang dinyatakan AA ternyata tidak membawa implikasi apapun lebih jauh, apalagi Bawaslu telah menyatakan tidak bisa dilanjutkan lagi apa yang diduga sebagai politik kardus itu. Toh AA juga hanya teriak-teriak dari luar arena, artinya tidak akan ada aksi lanjutan. Lagi-lagi gagal menyaksikan hasil gemilang dari permainan politiknya.
Tentu tidak kalah menyakitkan ternyata AG begitu gegap gempita. Anak buahnya banyak yang miring menilai, beliau memuji dan memberikan jempol, namun masih juga ikut ndompleng, bahwa itu bagian upayanya. Bolehlah, kasihan daripada tantrum lagi, repot.
Paling menyesakkan itu ketika sang putera harapan itu tersingkir dari percaturan pilpres 2019. Semua hal itu tidak ada yang mengalahkan kesakitan ini. Bagaimana sudah menarik paksa dari dunia militer yang masih demikian muda, untuk menjadi gubernur. Dan kalah dengan cepat, masih ada harapan dan kekuatan, jauh lebih besar kalau bisa menjadi salah satu wakil presiden. Tidak presiden, namun cukup wakil. Apa daya tidak mampu mengangkat sampai ke sana.