Pilpres masih cukup lama, namun tensi sudah mulai meninggi, apalagi timses sudah saling melontarkan perang urat syaraf untuk memeriahkan keadaan.Â
Hal bagus dan positif sebenarnya, kalau tidak sampai saling serang secara bak babi buta dan menebarkan fitnah dan berita bohong. Kala kedua timses belum final dan satu sisi partai pengusung Jokowi belum mengumumkan nama ketua timses, semua masih saling intai, siapa yang kira-kira akan menjadi kepala itu, jelas menunjukkan arah ke mana pola pemenangan akan terbentuk.
Susunan timses pun tidak banyak hal yang mengejutkan, selain beberapa tokoh dan kader yang menyeberang. Sangat menarik dari kedua kubu ada "seolah" pertukaran posisi dan kekuatan yang cukup berimbang baik jumlah ataupun "kualitas".Â
Memang namanya manusia tidak bisa dihitung secara matematis, namun paling tidak seberapa kekuatan itu turut memberikan andil dalam pemenangan masing-masing kandidat.
Tukar guling sama posisi antara Mahfud MD dan Anies RB. Kedua tokoh sentral yang berbeda kubu dengan 2014. Meskipun nampaknya mereka tidak dalam posisi yang sama seperti dulu, lebih cenderung di balik layar dengan alasan jabatan masing-masing, toh sedikit banyak mereka tetap akan menjadi rujukan dan narasumber cukup signifikan bagi masing-masing  paslon dan timses masing-masing. Ini berimbang lah kedua kubu, hanya saja sentimen negatif jauh lebih merugikan pada sisi Anies dengan capaian di Jakarta.
Level gubernur dan kepala daerah yang menyeberang ke kubu Jokowi. Ada Pak Dhe Karwo, yang belum benar sepenuhnya, namun arah ke sana sudah cukup santer. Â Justru jauh lebih cepat mendeklarasikan dukungannya pada sosok muda, TGB. Di mana ia telah menyatakan dukungan dengan alasan yang sangat jelas soal pembangunan di daerahnya.Â
Papua memberikan dukungan melalui Lukas Enembe, di mana ia merupakan kader dan pimpinan daerah milik Demokrat. Pukulan cukup telak, padahal cukup menjadi andalan bagi Demokrat. Kaget belum selesai, diperdengarkan perpindahan Deddy Mizwar yang usai kalah dalam pilkada menyatakan dukungan kepada jokowi dengan alasan identik dengan TGB.
Perpindahan dari sisi Jokowi ke Prabowo levelnya lebih tinggi, di mana level menteri, ada Ferry Mursyidan Baldan, Rizal Ramli, dan  Sudirman Said. Jelas jika menteri kelasnya sangat tinggi dan bisa diyakini kemampuannya. Bukan main-main pengalaman, jaringan, dan apa yang mereka miliki baiik modal sosial ataupun kapital.
Melihat rekam jejak pengalaman pemerintahan dan birokrasi memang sangat mentereng yang melompat ke koalisi Prabowo. Namun sisi lain, juga Jokowi tahu dengan pasti, mereka seperti apa. Ingat mereka diganti tentu ada sesuatu yang tidak sepaham dengan gagasan pemerintahan Jkw-JK.Â
Dan meskipun Jokowi tidak akan mengatakan dengan gamblang mengapa mereka diganti, toh akan dengan mudah menjadi bahan untuk mementahkan argumen mereka jika membuat pernyataan. Toh masih ada juga beberapa menteri yang diganti tetap pada posisi mendukung Jokowi. Susah melihat bahwa mereka mendukung Prabowo bukan hanya karena sakit hati. Ini politik jika demikian sangat berat dan bahaya.
Para gubernur dan mantan gubernur ini, meskipun hanya level pimpinan daerah di bawah kapasitas menteri, namun mereka adalah tokoh-tokoh yang masih relatif bersih, bukan karena diganti untuk beralih dukungan. Melihat kinerja dan hasil menjadi pertimbangan mereka. Energi jauh lebih positif, kalau tidak bisa dikatakan bukan karena barisan sakit hati. Ini jelas menjadi point penting bagi sebuah kebersamaan.
Jika berbicara soal masa depan dan masa lalu, kedua sisi yang berpindah tersebut adalah masa lalu karena usai diganti pada jajaran elit bekas menteri, dan para pimpinan daerah itu masa depan, meskipun lebih rendah. Mereka masih relatif aman akan serangan bahwa mereka dinilai gagal sebagai pemimpin. Tentu itu menjadi daya dan enerfgi positif, serta secara psikologis dan mental sangat baik.
Melihat hal tersebut, patut dinilai bahwa kedua timses memiliki kemampuan setara dengan tambahan amunisi dari perpindahan yang cukup menjanjikan. Dengan beberapa catatan tersebut, suka atau tidak, jauh kebih mendapatkan keuntungan pada sisi yang beralih ke kubu Jokowi.
Gubernur dan mantan gubernur itu memiliki wilayah dan orang-orang yang pernah atau masih ingat akan  keberadaan mereka. Menteri, hanya dilihat dan dikenal meskipun skala nasional, usia mundur susah meyakini mereka masih memiliki jaringan yang cukup militan. Apalagi jika mengingat Jawa Barat di mana kemarin bukan pemilih potensial bagi Jokowi. Jawa Timur pun merupakan daerah terbesar pemilih, artinya sangat menggiurkan.
Memang sebenarnya perpindahan pilihan dan dukungan itu hal yang lumrah dalam era demokrasi, namun menjadi penting jika  mereka menggunakan kemampuan, bukan memakai model menjelekan pihak yang ditinggalkan, karena perpindahan dengan alasan apapun, yang penting dan mendasar adalah demi bangsa dan negara.
Saatnya demokrasi bermartabat, bukan demokrasi hujat dan cela. Bangsa ini usai memperlihatkan kualitasnya sebagai penyelenggaran Asian Games dengan sukses dan gilang gemilang, jangan eforia itu hanya ada di gelanggang olah raga saja, namun jauh lebih membanggakan jika bisa berpesta demokrasi dengan jiwa besar, siap menang dengan cara sportif, dan siap kalah dengan jiwa besar.
Apakah mungkin? Sangat mungkin sepanjang tidak memberikan kesempatan dan panggung bagi politikus miskin prestasi banyak berbicara dan didengungkan dengan berbagai cara.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H